Oleh:
Melda Cristianty – Nindita Amadea – Reika Azil Aryani – Rahma Diana Putri
LATAR BELAKANG
Anak merupakan dasar awal yang menentukan kehidupan suatu bangsa dimasa yang akan datang, sehingga diperlukan persiapan generasi penerus bangsa dengan mempersiapkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik dalam perkembangan moral, fisik/motorik, kognitif, bahasa, maupun sosial emosional. Setiap anak berhak untuk mendapatkan penghidupan dan perlindungan yang layak, serta dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Menurut Kementrian Dalam Negeri, dalam UU nomor 23 tahun 2002 pasal 4 mengenai Perlindungan Anak, yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Adanya perlindungan dimaksudkan untuk melindungi anak yang tereksploitasi secara ekonomi, seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan seksual, anak korban kekerasan fisik/mental, anak penyandang cacat, dan anak korban penelantaran (Handini, 2013).
Akhir-akhir ini terdapat berbagai fenomena perilaku negatif terlihat dalam kehidupan sehari-hari pada anak-anak. Melalui surat kabar atau televisi dapat dijumpai kasus-kasus anak usia dini seperti kekerasan baik itu kekerasan fisik, verbal, mental bahkan pelecehan atau kekerasan seksual juga sudah menimpa anak-anak. Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga, ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri (Handini, 2013) .
Menurut Kompasiana (2013) data Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2010, di Indonesia telah diterima laporan kekerasan pada anak mencapai 2.046 kasus, laporan kekerasan pada tahun 2011 naik menjadi 2.462 kasus, pada tahun 2012 naik lagi menjadi 2.629 kasus dan melonjak tinggi pada tahun 2013 tercatat ada 1.032 kasus kekerasan pada anak yang terdiri dari: kekerasan fisik 290 kasus (28%), kekerasan psikis 207 (20%), kekerasan seksual 535 kasus (52%). Sedangkan dalam tiga bulan pertama pada tahun 2014 ini, Komnas perlindungan anak telah menerima 252 laporan kekerasan pada anak. Jadi, menurut Komnas perlindungan anak bahwa laporan kekerasan pada anak didominasi oleh kejahatan seksual dari tahun 2010-2014 yang berkisar 42-62% (Kompasiana, 2014). Dari data tersebut terlihat bahwa kasus mengenai kekerasan pada anak meningkat setiap tahunnya. Terlebih mengenai kasus pelecehan seksual yang mendominasi.
Menurut Rahmawati (2014) bahwa, pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta anak atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
Dewasa ini, banyak hal yang masih dianggap tabu di Indonesia. Tidak sedikit juga di luar sana yang menganggap hal tabu ini adalah suatu hal yang sangatlah penting dan tidak untuk dilanggar (Lisdiya, 2013). Pengetahuan adalah hal terpenting yang di butuhkan masyarakat Indonesia dan kurangnya pengetahuan inilah yang menyebabkan timbulnya kekerasan seksual semakin meningkat di Indonesia. Tak hanya itu, kurangnya perhatian orang tua terhadap anak juga dapat menimbulkan semakin banyaknya anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Menurut Lisdiya (2013) bahwa, anak perlu untuk diberikan pemahaman oleh orangtua mengenai sex education. Sehingga melalui sex education ini diharapkan dapat tercapainya tujuan dalam menjaga keselamatan, kesucian, dan kehormatan anak ditengah masyarakat. Cara penyampaiannya tentu harus disesuaikan kehidupan masyarakat Indonesia yang berlandaskan agama dan tata krama, sehingga anak didik baik laki-laki maupun perempuan dapat terjaga akhlak dan agamanya hingga jenjang keluarga sekalipun. Selain itu, keluarga dan masyarakat juga memiliki pengaruh besar terkait sex education sebagai pihak pemberi informasi dan teladan, keluarga sebagai lingkungan terdekat anak didik harus siap dengan berbagai pertanyaan dengan jawaban yang benar, dan tidak membiarkan rasa ingin tahu mereka dijawab oleh teman atau media yang belum tentu sesuai untuk usia mereka. Keluarga menjadi pengawas bagi anak dalam mengontrol musik yang didengar, televisi yang ditonton, majalah yang dibaca, serta pakaian yang dikenakan.
Sebagai anak, mereka membutuhkan peran orang tua yang sesuai untuk menghindari terjadinya pelecehan seksual. Peran orang tua yang selalu terbuka terhadap anaknya adalah sesuatu yang dibutuhkan anak. Orangtua harus sudah mulai menerapkan pengetahuan-pengetahuan tentang seksualitas kepada anaknya tetapi sesuai dengan umur dan metode yang tepat serta sebagai orangtua, harus dapat membantu mereka untuk membuat karakter pribadi yang kuat untuk sang anak, karena itu adalah bekal pribadi yang bisa digunakan kelak. Pentingnya peran orang tua dalam sebuah keluarga itu sangat di perlukan serta adanya keterbukaan terhadap sang anak itu akan sangat membantu dalam psikologis keluarga (Handini, 2013).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu untuk melakukan intervensi mengenai Save Your Children untuk diberikan kepada ibu-ibu, sehingga anak dapat mengetahui apa yang seharusnya dilakukan untuk menjaga anak-anak dari pelecehan seksual yang marak terjadi. Hasil penelitian jurnal Ambarwati (2013) dalam penelitianya yang membahas tentang Peran Ibu dalam Penerapan Pendidikan Seksualitas pada Anak Usia Pra Sekolah (di TK SBI Kroyo, Karangmalang, Sragen) bahwa, permasalahan yang terjadi dalam pendidikan seksualitas pada anak adalah orang tua dalam hal ini ibu masih sungkan berbicara tentang hal yang berkaitan dengan seksualitas kepada anak-anaknya, menganggap hal itu tabu dan belum perlu diberikan kepada anak-anak sejak dini.
A. NAMA KEGIATAN
Sosialisasi Intervensi Save Your Children “Menjaga Anak-Anak dari Kekerasan Seksual”.
B. TUJUAN
- Untuk mengetahui pengertian seksualitas.
- Untuk mengetahui pelaku pelecehan seksual.
- Untuk mengetahui sasaran diberikannya cara pencegahan pelecehan seksual.
- Untuk mengetahui cara yang dapat dilakukan untuk pencegahan pelecehan seksual.
- Untuk mengetahui cara menjaga anak-anak agar jauh dari pelecehan seksual.
- Untuk mengetahui ciri-ciri yang ditampilkan anak yang telah mengalami pelecehan seksual.
- Untuk mengetahui proses perubahan sikap yang terjadi pada orangtua mengenai masalah yang terjadi.
C. SASARAN
Kegiatan sosialisasi ini mengikutsertakan ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas PKK sebanyak 20 orang.
D. LOKASI KEGIATAN
Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti dapat melakukan intervensi dengan judul Save Your Children mengenai menjaga anak-anak dari pelecehan seksual, yang betempat di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Rampal Celaket, Klojen, Malang
E. BENTUK KEGIATAN
Acara ini bersifat kekeluargaan dan kebersamaan, dimana di dalamnya akan diselingi ice breaking berupa game, untuk mencegah kejenuhan. Kegiatan pengabdian masyarakat ini akan dilakukan dengan metode:
- Ceramah
- Tanya jawab
- Diskusi
- Pemecahan masalah perkasus
Hasil Intervensi
Pelaksanaan intervensi mengenai “Save Your Children” yang dilaksanakan pada tanggal 08 Mei 2016 berjalan dengan lancar. Hasil analisis pengaruh intervensi pendidikan seksual terhadap pengetahuan dan sikap ibu-ibu PKK menunjukkan adanya peningkatan signifikan antara pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan serta sikap sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan. Hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh intervensi terhadap pengetahuan dan sikap ibu-ibu PKK, mengenai tindak kekerasan seksual yang terjadi pada anak usia dini.
Sebelum materi di berikan, pemateri melakukan interaksi dengan ibu-ibu tersebut dengan mengajukan pertanyaan seputar kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak. Mereka menunjukkan respon awam dan tidak mengerti mengenai pembahasan materi tersebut. Setelah di berikannya sosialisasi dan fakta yang terjadi, akhirnya mereka lebih merespon secara positif dan mengevaluasi kejadian-kejadian yang ada disekitarnya secara lebih kritis. Menurut Hanurawan (2007), fungsi pengetahuan berarti bahwa sikap membantu seseorang menetapkan standar evaluasi terhadap sesuatu hal. Standar itu menggambarkan keteraturan, kejelasan, dan stabilitas kerangka acuan pribadi seseoarang dalam menghadapi objek atau peristiwa disekelilingnya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Benita (2012) yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan yang bermakna setelah dilakukan penyuluhan tentang kekerasan seksualitas pada anak usia dini. Hal ini menunjukan bahwa penyuluhan sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan. Peningkatan pengetahuan tentang kekerasan seksual pada anak usia dini menunjukkan bahwa penyuluhan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pengetahuan ibu-ibu PKK tentang kekerasan seksual yang terjadi, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
- Penerima materi
Dalam penelitian ini materi yang diberikan disesuaikan dengan sasaran dan jumlah penerima materi, yaitu ibu-ibu PKK.
- Metode pemberian materi,
Dalam penelitian ini menggunakan metode seminar dimana peneliti menjelaskan dan menerangkan suatu informasi terkait fakta mengenai kekerasan seksual yang terjadi pada anak usia dini, secara lisan dan secara dua arah. Hal ini sejalan dengan Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa kelompok besar adalah apabila peserta penyuluhan lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok besar ini adalah seminar, panel dan ceramah.
- Pembawa materi
Pembawa materi memegang peranan penting dalam keberhasilan suatu penyuluhan. Pembawa materi dituntut untuk mampu menguasai materi yang akan diberikan serta lebih komunikatif dalam menyampaikan pesan penyuluhan agar lebih mudah dipahami dan ditangkap oleh sasaran penyuluhan serta menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh target penyuluhan dengan mempertimbangkan tingkat pendidikan penerima materi penyuluhan.
- Materi yang diberikan.
Materi yang diberikan dalam penyuluhan dituntut agar mudah dipahami oleh ibu-ibu PKK . Materi penyuluhan menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan sasaran penyuluhan sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami dan dimengerti.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada ibu-ibu PKK terjadi perubahan sikap sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2013) yang menyimpulkan bahwa penyuluhan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan sikap responden. Menurut Hanurawan (2007) proses perubahan sikap tersebut terjadi karena adanya Intergrasi dimana, pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal tentu sehingga akhirnya terbentuk sikap menegenal hal tersebut.
Hal ini menunjukan bahwa selain terjadi peningkatan pengetahuan juga terjadi peningkatan sikap melalui penyuluhan. Kedua hal tersebut terbukti dengan adanya pengisian kuesioner dan proses tanya jawab yang dilakukan selama intervensi dilakukan. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi sikap seseorang diantaranya adalah faktor yang berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan. Menurut (Manstead, 1996; Strickland, 2001) terdapat 3 komponen dalam proses pembentukan sikap :
- Komponen Respons Evaluatif Kognitif
Pengaruh sosialisasi yang terjadi pada ibu-ibu PKK dari hasil intervensi yang dilakukan memberikan gambaran tentang cara seseorang dalam mempersepsi objek, peristiwa atau situasi sebagai sasaran sikap. Komponen ini adalah pikiran, keyakinan atau ide seseorang tentang suatu objek. Dalam bentuk yang paling sederhana, komponen kognitif adalah kategori-kategori yang digunakan dalam berpikir. Informasi yang diterima dari intervensi dan sosialisasi yang dilakukan masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai – nilai baru yang diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu.
- Komponen respons evaluatif afektif
Adalah perasaan atau emosi yang dihubungkan dengan suatu objek sikap. Perasaan atau emosi meliputi kecemasan, kasihan, benci, marah, cemburu,atau suka. Pada kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak usia dini memberikan respon evaluatif afektif berupa kecemasan, takut dan waspada untuk lebih menjaga anak-anaknya.
- Komponen respons evaluatif perilaku
Adalah tendensi untuk berperilaku pada cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Dalam hal ini, tekanan lebih pada tendensi untuk berperilaku dan bukan pada perilaku secara terbuka. Pada kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak usia dini memberikan respon evaluatif perilaku berupa tindakan-tindakan yang dapat dilakukan ibu untuk mengajari anak untuk menjauhi pelecehan seksual. Antara lain :
- Mengingat nama-nama bagian tubuh. konsep bagian tubuh pribadi yang tidak boleh dipegang sembarang orang
- Perbedaan antara sentuhan aman dan sentuhan tidak aman
- Mengajarkan bahwa mungkin saja ada orang yang dekat dengan anak yang mencoba menyakiti
- Menjelaskan pada anak bahwa pelecehan seksual bukanlah tanggungjawab si anak melainkan adalah tanggungjawab pelaku yang telah melakukan kejahatan pada anak.
- Mengembangkan kemampuannya dalam menghindari dan mencegah pelecehan seksual
- Mengajak anak yang mengalami pelecehan seksual untuk membuat laporan hukum.
- Ajari anak bahwa jika anak mau terbuka mencari bantuan untuk mengatasi pelecehan seksual yang dialaminya, maka orangtua akan mendukung dan percaya pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, Retno. 2013. Peran Ibu dalam Penerapan Pendidikan Seksualitas pada Anak Usia Pra Sekolah (di TK SBI Kroyo, Karangmalang, Sragen). PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI: JAWA TENGAH.
Benita, Rena N. 2012. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi pada Remaja Siswa SMP Kristen Gergaji. Universitas Diponegoro.
Hanurawan, Fattah. 2007. Pengantar Psikologi Sosial. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Kompasiana. 2013. Darurat Nasional: Eksploitasi Seksual Anak. diakses pada http://regional.kompasiana.com/2013/07/24/darurat-nasional-eksploitasi- seksual-anak–579268.html (diakses pada tanggal 12 April 2016 pada pukul 09.16 WIB).
Lisdiya, N. 2013, sex education untuk-anak-anak, why not? Diakses dari http://sisimikro.blogspot.com/2013/01/sex-education-untuk-anak-anak- why- not.html pada tanggal 28 Maret 2016 pada pukul 16.15 WIB.