DeskripsiLokasi

Organisasi yang bernama Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur atau yang lebih terkenal dengan singkatan JKJT merupakan sebuah lembaga yang mendedikasikan diri mereka sebagai pendamping anak jalanan. Di sini mereka membina anak jalanan untuk berusaha, berkarya, melakukan apapun yang bisa membuat mereka (para anak jalanan) tidak lagi dipandang sebelah mata. Selain anak jalanan, di JKJT ini juga mendampingi anak-anak pinggiran kota, khususnya kota Malang. Hal ini terbukti dengan didirikannya sebuah rumah belajar. Di rumah belajar ini, anak-anak jalanan maupun anak-anak pinggiran mendapatkan pendidikan dan pengetahuan.

Rumah belajar tidak seperti sekolah pada umumnya. Di sini seluruh anak bisa belajar dengan metode pendampingan. Anak-anak yang datang ke rumah belajar itu berkisar antara kelas 1 sampai kelas 6 SD. Akan tetapi beberapa anak yang belum bersekolah atau yang menginjak bangku Taman Kanak-kanak pun dengan semangat dating dan ikut belajar bersama. Kegiatan di rumah belajar ini diadakan setiap hari Minggu pukul 10.00 sampai 13.00 WIB. Selain belajar tentang pengetahuan di sini anak-anak juga diajarkan sopan santun dan diajak bermain bersama. Setiap minggunya para relawan tetap yang ada di sana membuat sebuah permainan-permainan kecil yang membuat anak-anak dapat bermain sambil belajar.

RumahBelajarinibertempat di JalanMuharto Gg. 05. Menurut informasi yang didapatkan peneliti, awalnya rumah belajar ini bertempat disalah satu rumah warga yang bernama Sulastri, akan tetapi sekarang rumah belajar ini tidak seperti sebutan namanya, karena rumah belajar ini bertempat di depan deretan rumah warga yang mana setiap warga pasti berlalu lalang di sana. Tempat itu hanya beralaskan terpal yang dilapisi dengan karpet berwarna hijau, kemudian di atasnya ditutupi dengan terpal yang ditali ke dinding-dinding rumah warga agar tetap berdiri dengan kokoh. Tempat itu berukuran sekitar 3×4 meter, disampingnya tepat sebuah kandang ayam sepanjang tempat rumah belajar itu. Di sekitaran rumah belajar itu juga terdapat tempat jemuran-jemuran warga yang dilengkapi dengan jemurannya. Selain itu, rumah belajar ini juga berada di dekat sungai.

 DeskripsiPermasalahan

Permasalahan yang ingin diangkat oleh peneliti adalah tentang komunikasi sosial dan bahasa pada anak-anak yang mengikuti kegiatan di rumah belajar tersebut. Karena sering kali peneliti mendengarkan kata-kata yang terucapkan dari mulut anak-anak itu sendiri, di mana kata-kata tersebut tergolong kasar dan dirasa tidak pantas untuk disebutkan anak seusianya. Seperti ketika si A menegur si B,A berkata “Heh su, kon iku ojok rame-rame tha, aku lo pingin belajar kon iku rame ae”. Di sini A memanggil B dengan kata“su atau asu” (baca: anjing).

Selain itu, peneliti juga sering kali menemukan anak yang sedang bercanda dengan sesama temannya akan tetapi menggunakan kata-kata seperti cuk atau jancuk. Hal ini terlihat seperti sudah biasa diucapkan dikalangan mereka padahal kata-kata itu seharusnya tidak ucapkan bahkan tidak sampai menjadi kebiasaan anak. Tentunya ini menjadi permasalahan yang dianggap cukup serius untuk kehidupan sosial jaman sekarang terkhusus pada perkembangan seorang anak itu sendiri.

 

PEMBAHASAN

Komunikasi sosial sangat penting dalam hubungan interpersonal pada kehidupan sosial manusia. Komunikasi melibatkan pengiriman dan penerimaan pesan antarindividu. Komunikasi adalah prnyampaian informasi, ide, sikap, dan emosi dari seseorang kepada orang lain. Pengertian dari bahasa sendiri adalah sistem struktur sosial dalam bentuk pola suara (kata-kata atau kalimat) dengan makna yang bersifat baku atau terstandar.

Secara lebih spesifik, bahasa memiliki dua fungsi. Pertama, bahasa menyebabkan individu dapat melaksanakan komunikasi dengan individu lain. Kedua, bahasa dapat membantu individu berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Dalam realitas sosial, terdapat unsur-unsur penggunaan bahasa, yaitu makna, para-bahasa, dan bahasa tubuh. Orang-orang sering secara sadar maupun tidak sadar mengkombinasikan makna, para-bahasa, dan bahasa tubuh secara bersamaan dalam perilaku mereka.

Berdasarkan pada teori pemerolehan bahasa, terdapat tiga teori yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, yaitu:

  1. Teori pertama adalah teori belajar dari B.F. Skinner. Teori belajar menekankan faktor-faktor lingkungan sebagai unsur pokok penentu pemerolehan bahasa. B.F. Skinner menjelaskan bahwa bahasa diperoleh anak melalui proses belajar secara behavioristik dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu.
  2. Teori kedua adalah teori nativis dari Noam Chomsky yang lebih menekankan pada faktor-faktor genetis dalam proses pemerolehan bahasa. Dalam hal ini, Chomsky berpendapat bahwa sejak lahir, secara herediter seorang anak telah dilengkapi pengetahuan tentang struktur bahasa manusia. Nampak jelas bahwa dalam teori ini faktor genetis menjadi titik tekan dalam pemerolehan bahasa anak.
  3. Teori ketiga adalah teori konvergensi. Teori ini berupaya mendamaikan perdebatan itu melalui perspektif integrative terkait upaya-upaya pemerolehan bahasa pada diri anak. Teori ini mengemukakan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil dari proses interaksi yang bersifat kompleks antara proses biokimiawi, factor-faktor kematangan, strategi belajar, dan lingkungan social (Zanden, 1984). Sehingga teori konvergensi ini lebih memilih untuk melihat proses pemerolehan bahasa sebagai suatu proses interaktif yang terbuka bagi berbagai faktor yang ditengarai dapat memberikan pengaruh terhadap proses pemerolehan bahasa dalam diri anak.

Sehubungan dengan teori pemerolehan bahasa yang dikemukakan oleh B.F. Skinner yaitu bahasa diperoleh anak melalui proses belajar secara behavioristik dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu, hal ini berkaitan dengan kasus yang sudah dibahas sebelumnya. Dimana seorang anak di daerah itu belajar menggunakan bahasa untuk berkomunikasi bersama orang lain dengan melihat atau mendengar komunikasi yang sudah terjadi di lingkungan sekitarnya. Hal ini terbukti saat peneliti melakukan kegiatannya sebagai seorang voulunteer di rumah belajar tersebut, ada salah seorang warga laki-laki yang bercanda bersama kerabatnya dengan menggunakan kata-kata “jancuk” maupun “asu”. Kejadian ini mungkin sudah sering kali terlihat atau bahkan mungkin sudah dianggap biasa di lingkungan sekitar karena konteks mereka berbicara adalah hanya bersenda gurau. Dari komunikasi sehari-hari yang seperti itu lah yang dilihat dan dipelajari oleh anak-anak. Sehingga mereka pun juga ikut menerapkannya dikalangan teman-teman seumuran mereka.

 

 

 PEMBELAJARAN YANG DIPEROLEH

Selama peneliti menjadi seorang relawan di rumah belajar, peneliti mendapatkan banyak pelajaran di sana. Salah satunya yang paling utama adalah peneliti dapat kembali merasa bersyukur atas semua yang telah dimiliki. Karena masih banyak sekali orang-orang di luar sana terutama anak-anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan layak tetapi nyatanya mereka masih ada yang tidak bersekolah. Selain itu walau pun anak-anak disana keterbatasan fasilitas untuk mendapatkan pengetahuan, akan tetapi mereka tetap bersemangat untuk hadir dan belajar bersama di rumah belajar tersebut. Mereka datang dengan sangat antusias, sambil membawa peralatan belajar seperti buku dan pensil. Bahkan sering kali anak-anak tersebut yang mengajak sekaligus mengingatkan para relawan untuk kembali datang ke rumah belajar itu pada pertemuan selanjutnya.

Pelajaran kedua yang diperoleh peneliti pada kegiatan ini adalah belajar untuk sabar. Sabar di sini adalah dalam artian sabar untuk menghadapi sikap dan perilaku anak-anak yang berada pada lingkungan tersebut. Karena ada beberapa anak yang berperilaku agresif, seperti berteriak-teriak kepada salah satu pembimbing karena ingin hasil tugasnya cepat untuk dikoreksi, padahal pembimbing tersebut juga harus mengajarkan anak-anak yang lain sehingga ia menerapkan sistem bergantian disetiap anaknya. Selain itu anak-anak juga sering kali memaksa para pembimbing untuk mengeluarkan handphonenya untuk sekedar berfoto bersama atau untuk bermain games.

Selanjutnya pembelajaran yang tidak kalah pentingnya dengan pembelajaran yang lain adalah jiwa semangat dan rasa sosialitas tinggi yang dimiliki para relawan atau pembimbing tetap yang ada organisasi ini khususnya di rumah belajar tersebut. Dari hasil berbincang-bincang peneliti dengan salah satu relawan tetap yang ada di sana, ternyata ada relawan yang kegiatan sehari-harinya adalah kuliah dan bekerja di salah satu perusahaan swasta, akan tetapi setiap minggunya ia tetap hadir pada kegiatan tersebut. Disamping kegiatan mereka yang juga tidak begitu luang, relawan di sana mencoba menyempatkan diri untuk datang ke rumah belajar tersebut untuk tetap membimbing anak-anak.

 

 

 

DAFTAR RUJUKAN

Hanurawan, Fattah. 2010. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset