Fransisca Iriani R. Dewi

Universitas Tarumanagara

Ardiningtiyas Pitaloka

Universitas YARSI

Tutut Chusniyah

Universitas Negeri Malang


Abstract: Rezim of Soeharto  (ruling from 1967-1998) is very repressive and forcing single identity : We are all Indonesia.This single identity based on comprehension of Bhineka Tunggal Ika’s concept (though slightly different but still the one), which emphasizes on unity by ignoring the differences has caused so many horizontal conflicts in Indonesia, pluralism of religion identity, ethnic, and culture which leaded to sensitive issues (ethnic, religion  race).The fact shows that conflicts which caused by ethnic and religion has happened in Aceh, Papua, Sampit, Maluku, and PosoSince October 1998 until September 2001.Based on Judd & Park study (2009), there are two ideological viewpoints on pathways to more harmonious intergroup relations i.e. the colorblind or the multicultural point of view. In “colour-blind” viewpoint, intergroup harmony could be best achieved if we recognized that we are all individuals who are created equal, regardless of our ethnic background, that our core we are all the same, and that we should respect each other’s as individuals and fellow Indonesians. Other, naturally called as multicultural viewpoint, it was suggested that intergroup harmony could be best achieved if we better appreciate our diversity as a nation and accepted and valued that diversity, accepting each group’s positive and negative qualities.Yogyakarta is famous of Javanese culture central and ruled by royal family (sultan) as governor. In late 2010, central government planned to implement electoral system such as other region which leads to pro and contra. Difference vision about Yogyakarta peculiarity between central and area government.Potential conflict for harmonisation between ethnics in Indonesia. A qualitative research: that participants responded to harmony viewpoints paragraph and Yogyakarta issue in short essay. Subject: 40 undergraduate students in Jakartafrom 10 ethnics,Analysis data with content analysis. The result shows that about the sultanate of Yogyakarta in the context of democracy in Indonesia, sebagian besar participants agree that the governor is elected democracily so that the governor will be more legal and respected by the citizens. This result is different with Judd & Park (2009), the participants in this research agree that ideology of multiculture is more appropriate to create the harmonization of living in Indonesia.There is a dilemma among participants perception, particularly between culture sustainability and democracy. Participants valued harmony living has yet fully emerged in Indonesia considering conflicts on behalf of ethnic and religion. Nonetheless, they perceived that harmony is likely and optimism.


PENDAHULUAN

Indonesia berdiri dengan kenyataan hidup masyarakat yang beragam. Sebagai negara dengan kepulauan, suku atau etnik, bahasa dan juga kebudayaan yang sangat beragam, Indonesia adalah sebuah negara yang besar dan sangat majemuk (Hok Ham, 2002 dalam Satriyanto,2008). Kehidupan kultural di Indonesia adalah satu kenyataan yang telah menghuni bumi nusantara ini.   Indonesia telah memiliki sejarah panjang dalam toleransi agama. Sebelum Islam menjadi agama mayoritas,  Hindu dan Budha merupakan agama mayoritas yang hidup beriringan dengan agama minoritas lain. Bahkan hingga saat ini, kuil-kuil Cina masih mudah ditemukan di kepulauan Indonesia, begitu juga gereja Protestan dan Katolik, juga sinagog. Indonesia merupakan negara terbesar ke-empat di dunia dengan kurang lebih 220 juta populasi. Terdiri dari 19.000 pulau melintasi garis ekuator dengan lebih dari 200 kultur mayoritas dan bahasa. Meskipun  Jawa merupakan kultur dominan namun bahasa nasional Indonesia memiliki akar bahasa Melayu (Vickers, 2005).

Keberagaman bangsa Indonesia telah terbingkai dalam semboyan bangsa yakni Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna toleransi sejati antar umat Hindu Siwa dan Budha yang menempatkan dialog dan keikhlasan untuk menjaga kehidupan manusia (Puspito,1985 dalam Satriyanto,2008). Selain semboyan bangsa yang memiliki akar sejarah, keberagaman ini juga telah tertuang dalam peraturan pemerintah nomor 66 tahun 1951 bersama lambang negara garuda yang menggambarkan persatuan atau kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia, walaupun ke luar memperlihatkan perbedaan. Pada pasal satu surat tersebut disebutkan bahwa lambang Negara Republik Indonesia terbagi atas tiga bagian, yaitu : (1) Burung Garuda, yang menengok dengan kepalanya lurus kesebelah kanannya, (2) Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda dan (3) Semboyan ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Penjelasan tentang semboyan di tulis secara singkat dalam pasal lima yaitu ” Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi : BHINNEKA TUNGGAL IKA” (Pranarka, 1985, dalam Satriyanto,2008).

Pada masa pemerintahan Orde Baru (ORBA),  Jakarta menjadi pusat kekuasaan yang membuat semua keputusan, arah dan perintah. Sementara daerah yang tersebar di negara kepulauan ini berada di tingkat akhir dari piramida hirarki Soeharto sebagai penerima semua keputusan (Bertrand,2004). Memasuki masa reformasi di tahun 1998 dan awal 1999, satu tahun setelah peristiwa jatuhnya rezim ORBA, terjadi perubahan yang cepat dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia yang turut memicu munculnya beberapa konflik berlatar identitas sosial. Kebangkrutan ekonomi, krisis moneter serta reformasi sosial dan politik yang terjadi pada masa itu dengan cepat diikuti dengan beberapa konflik yang tersebar di wilayah Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa konflik yang berlatar belakang etnis dan agama telah terjadi Aceh, Papua, Sampit, Maluku dan Poso. Mulai  Oktober 1998 hingga September 2001, konflik telah memakan korban hingga 18.910 jiwa (Malik, 2003).

Dalam studi multicultural, banyak pembahasan tentang negara Kanada, Australia, Belanda juga Perancis. Pada kawasan Asia Tenggara, negara jiran Malaysia yang terdiri dari etnis Melayu, Tiong Hoa dan India tampil dengan moto pariwisata “Truly Asia” (http://corporate.tourism.gov.my/trade.asp?page=malaysia_trly&subpage=history) pun seolah menjadi satu-satunya negara yang memenuhi karakteristik multikultural seperti ketiga negara sebelumnya.  Kanada menjadi negara yang selalu menjadi rujukan studi multicultural berawal dari pidato Perdana Menteri Trudeau berikut,

“National unity, if it is to mean anything in the deeply personal sense, must be founded on confidence in one’s own individual identity; out of this can grow respect for others and a willingness to share ideas, attitudes and assumptions (Trudeau,1971/1992,p.181 dalam Moghaddam,2008,h.151)”

Kanada secara konkret menerjemahkan ideology multicultural dalam kebijakan negaranya, salah satunya dengan penggunaan bilingual bahasa Inggris dan Perancis. Sementara Australia dan Belanda menjadi negara multicultural dengan banyaknya imigran dari berbagai bangsa termasuk Asia. Hal ini menunjukkan dengan jelas pengaruh dari globalisasi, di mana terjadi peningkatan migrasi antar wilayah atau negara (Kitayama & Cohen,2007; Reitz, dkk, 2009).

Kulturdan Multikulruralisme

Konsep kultur sebagai norma dan kebiasaan bersama satu komunitas, atau disebut juga dengan shared mentalities juga shared meanings (Geertz,1973 dalam Kitayama & Cohen,2007) meliputi bahasa, mitos, seni, kebiasaan, agama dan sebagainya termasuk dalam kultur(Kitayama & Cohen,2007). Matsumoto (2001) mendefiniskan kultur sebagai system kerja (operasi) lunak (software) yang seringkali tidak tampak dan tidak diketahui / disadari, namun memainkan peran sangat penting dalam perkembangan dan aktivitas manusia. Pandangan ini sejalan dengan  Chiu dan Hong (2006, dalam Maddux, Adam & Adam, 2010), bahwa kultur merupakan bagian intrinsic kehidupan social manusia. Menurut Kitayama & Cohen (2007), ada dua element penting dalam kultur yang dialami bersama yakni elemen praktis dan pemaknaan. Mereka yang memiliki bahasa, periode waktu dan tempat sama lah yang paling berpeluang untuk berinteraksi intensif. Meski jelas terbuka interaksi antar masyarakat yang berbeda bahasa sehingga terjadi pula difusi dan akulturasi sebagai proses kultur  penting yang saling mempengaruhi.

Pada awal studi tentang interaksi multikultur, psikologi banyak menyoroti dampak atau konsekuensi negative, namun kini telah banyak ditemukan dampak positif  seperti terhadap well-being (Tadmor, Tetlock, dan Peng,2009),mind-set (Narvaez & Hill,in press), juga kreativitas (Maddux,Adam, & Galinsky,2010). Setidaknya terdapat tiga kelompok besar kajian multicultural dalam psikologi social, yakni multicultural sebagai (a) identitas social; (b) pengalaman/interaksi social; (c) ideology dan kebijakan negara. Sebagai ideology, multikutural tidak otomatis menjadi kebijakan praktis, namun terdapat keterkaitan erat antara keduanya.

Identitas social

Pada level individu, multicultural dapat melekat secara biologis pada mereka yang memiliki orangtua dengan latar budaya berbeda. Moghadam (2008) melakukan  studi multicultural yang focus pada dinamika internal individu dalam interaksinya di masyarakat. Ia  merumuskan hipotesis multiculturalisme yang terdiri dari in-group confidence dan out-group acceptance. Mereka yang memiliki kecenderungan multikultural adalah orang-orang yang mampu bersikap positif (percaya diri) terhadap kelompoknya dan menerima kelompok luar/lain.  Seorang dengan kepribadian multikultural memiliki sensitivitas kultur tinggi, mampu menghargai kultur yang berbeda, toleransi,berorientasi universal, juga fleksibilitas kognitif (Brummett,Wade,Ponterotto,Thombs,Lewis,2007)

Identitas multicultural tidak selalu diiringi dengan kepribadian multicultural. Jika identitas multicultural lebih mengacu pada aspek inheren (internal-biologis), maka kepribadian merupakan hasil perkembangan diri. Seperti dalam pemahaman kepribadian, yakni pola dan karakter yang cenderung menetap dan konsisten pada individu.

Personality is a pattern of relatively permanent traits, dispositions, or characteristics that give some measure of consistency to a person’s behaviour. (Feist & Feist,2002).

Seorang dengan kepribadian multicultural memiliki sensitivitas kultur tinggi, mampu menghargai kultur yang berbeda, toleransi,berorientasi universal, juga fleksibilitas kognitif, seperti dalam kutipan berikut:

“Definition of the multicultural personality (MP) are factors such as high levels of racial and ethnic identity development, tolerance for and appreciation of culturally diverse people, a spiritual essence and sense of connectedness to others, a self-reflective and cognitively flexible stance in social interactions, initiative in broaching contact with culturally diverse individuals, and activism, demonstrated in a willingness to speak out against social injustice in its varied forms (e.g., racism, sexism, homophobia).” (Ponterotto,Mendelowitz,&Collabolletta,2008).

Pengalaman atau Interaksi Sosial

Maddux dan Galinsky (2009) dalam studinya menemukan adanya korelasi positif antara pengalaman hidup di luar negeri dengan kreativitas, yang secara umum merupakan proses menghasilkan sesuatu yang baru dan bernilai (bermanfaat). Studi tersebut berangkat dari pengamatan social, seperti banyaknya orang terkenal ( tokoh dunia, komposer dan penulis) yang memiliki pengalaman hidup di luar negerinya. Sebut saja Ernest Hemingway (penulis), Yeats,Shaw,Beckett, dan Heaney (penerima Nobel Prize dari Irlandia), pelukis Gauguin dan Picasso, juga composer dunia Handel, Prokofiev,Stravinsky, dan Schoenberg. Lingkungan multicultural memberikan peluang pengembangan kepribadian multicultural itu sendiri. Terkait dengan kreativitas yang berarti adanya sesuatu yang baru (novelty), maka dalam lingkungan multicultural, individu menghadapi hal-hal asing yang menuntut adaptasi, toleransi, sensitivitas dan juga fleksibilitas kogitif untuk survive.

Leung dan Chiu (2008) meneliti pengalaman multicultural pada mahasiswa Amerika – Eropa di Singapura dan mendapatkan hasil bahwa pengalaman multicultural yang luas dapat memprediksi kreativitas pada mereka yang terbuka terhadap pengalaman.  Hal ini berdasarkan pandangan bahwa pengalaman multicultural dapat meningkatkan level potensi kreativitas individual untuk lebih terbuka terhadap pengalaman (Chen & Chiu,2006 dalam Leung & Chiu,2008). Pengalaman multicultural memberikan beberapa keuntungan yakini: (a) kesempatan untuk mempelajari pengetahuan lebih dari satu kultur (Chiu & Hong, 2005; Hong,Morris, Chiu, & Benet-Martinez, 2000, dalam Leung & Chiu,2008) sehingga meningkatkan kompleksitas kognisi yang selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan menghasilkan ide baru; (b) interaksi dengan gagasan asing/tidak biasa sehingga meningkatkan kesiapan psikologis untuk menerima hal baru yang selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah secara kreatif (Leung & Chiu,in press dalam Leung & Chiu,2008); (c) berinteraksi dengan gagasan baru di kultur berbeda dapat menghasilkan insight baru yang merupakan inter-relasi antara ide baru dan konvensional sehingga memicu sintesis kreatif dari beragam kultur (Chiu & Hong,2005,dalam Leung & Chiu,2008).

Ideology dan kebijakan negara

Istilah multikulturalisme sendiri seringkali digunakan dalam makna normatif, yang merujuk pada suatu ideologi dengan nilai positif keberagaman kultur yang melekat, mengingatkan adanya kesetaraan antar kelompok kultur serta menuntut negara untuk mendukung keberagaman itu dengan berbagai jalan (Miller dalam Banting & Kymlicka, 2006).

Sejak pemerintah Kanada mengumumkan kebijakan multikulturalise untuk mengatasi isu perbedaan etnik dan kultur di tahun 1971, maka dunia internasional mulai memberikan perhatian serta melakukan banyak studi tentang kebijakan dan konsep multikulturalisme (Reitz,Breton,Dion,& Dion,2009). Fenomena multikulturalisme telah menjadi isu global seiring dengan meningkatnya interaksi antar bangsa termasuk di dalamnya adalah migrasi antar negara atau wilayah (Kitayama & Cohen,2007). Berry dan Kalin (1995 dalam Verkuyten & Martinovic,2006) menyatakan bahwa dukungan terhadap multikulturalisme akan lebih kuat pada kelompok yang mendapat dampak positif. Hal ini yang mendorong pandangan bahwa masyarakat minoritas lah yang lebih berkepentingan terhadap isu multikulturalisme.

Banting dan Kymlicka (2006) menyatakan adanya perubahan dramatis di belahan negara Barat yang menganut demokrasi terhadap isu keragaman etnokultural dalam 30 tahun terakhir. Pada masa lalu, keragaman (perbedaan) dipandang sebagai ancaman stabilitas politik, seperti imigran, kelompok minoritas juga masyarakat pribumi/indigenous sehingga cenderung menjadi masyarakat marginal. Perubahan pandangan ini yang mendorong lahirnya kebijakan multikulturalisme, meski tidak lepas dari kritik terutama untuk negara yang menganut demokrasi-liberal. Secara general, kebijakan multikultur paling sering termuat; (a) konstitusional parlemen dari level pusat hingga regional; (b) kurikulum sekolah; (c) representasi cultural pada media public secara inklusif; (d) kebebasan mengenakan pakaian tertentu; (e) mengijinkan kewarganegaraan ganda; (f) pendirian organisasi kelompok aktivitas cultural.

Multiculturalism dan Colour Blind

Ideologi color blind dan multicultural kemungkinan adalah ideology inter etnis yang paling dikenal saat ini. Ideologi colour blind telah mendominasi perdebatan public di Amerika yang berkembang sejak berdirinya Gerakan Hak Azazi Manusia 1960. Suatu gerakan manakala rasisme dan diskriminasi nyata terjadi oleh kaum kulit putih terhadap kulit hitam di Amerika (Barret & George,2005, dalam Ryan,Hunt,Weible,Peterson,& Casas,2011).  Diasumsikan bahwa ideology color blind akan menciptakan harmoni antar kelompok etnis. Menurut ideology color blind, perbedaan antar etnis dan ras dapat dan seharusnya diabaikan sehingga masyarakat dapat diperlakukan sama. Sementara ideology multicultural secara general meyakini bahwa perbedaan di antara kelompok etnis dan ras harus diakui dan diapresiasi. Alih-alih mengabaikan keanggotaan kelompok, multikulturalisme meyakini bahwa orang seharusnya berusaha memahami, menerima, bahkan merangkul perbedaan etnis sebagai upaya untuk menciptakan keadilan, termasuk perbaikan kondisi ekonomi dan social untuk etnis minoritas dan harmoni antar kelompok (Ryan,Hunt,Weible,Peterson,& Casas,2011). Judd dan Park (2009) menyebut dua pendekatan ini sebagai pendekatan dasar untuk menciptakan harmoni antar kelompok.

Wolsko, Park, Judd dan  Witterbrink (2000) dalam studi eksperimennya mengungkapkan bahwa pendekatan ideology multicultural lebih menguatkan stereotype dan lebih memungkinkan penggunaan informasi kategori dalam menilai individual. Colour blindness dapat memicu diskriminasi interpersonal dan institusional melalui jarak social (Apfelbaum,Sommers, & Norton, 2008 dalam Plaut, dkk,2009) dan justifikasi ketidaksejajaran (Knowles, Lowery, Hogan, & Chow, in press; Saguy, Dovidio, & Pratto, 2008 dalam Plaut,Thomas,Goren,2009), sementara multikulturalisme dapat memacu perilaku dan kebijakan inklusif (Wolsko dkk., 2006 dalam Plaut,dkk,2009). Penemuan studi Plautdkk (2009) sendiri mengungkapkan bahwa minoritas lebih awas dengan hal-hal yang mengandung inklusi, sementara yang terkait colour blind  dapat  meimbulkan bias. Studi Richeson dan Nussbaum (2004) menunjukkan bahwa perspektif color blind menghasilkan bias sikap rasial yang terukur baik secara eksplisit maupun reaksi yang samar.

Seiring dengan meningkatnya jumlah kelompok monoritas menjadi kekuatan ekonomi mayoritas di Amerika, kalangan industry (perusahaan) berusaha mengadaptasi dua pendekatan untuk mengelola perbedaan di dunia kerja. Dua pendekatan yang paling diterapkan adalah colorblindness dan multiculturalism (Stevens,Plaut,Sanchez-Burks,2008). Individu yang memiliki kebutuhan rendah terhadap keanggotaan kelompok kurang tertarik dengan organisasi/perusahaan yang  menerapkan pendekatan multicultural (Plaut,Garnett,Buffardi,Sanchez-Burks,2011). Pendekatan multikulturalisme dan color blind memberikan dampak berbeda pada daya tarik target minoritas (Gutiérresz & Unzueta,2010).

Fokusdan Pertanyaan Penelitian

Fakta bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam kelompok mendorong peneliti untuk mempertanyakan bagaimana Indonesia menyikapi dua pendekatan untuk menciptakan harmoni antar kelompok, yakni color blind dan multicultural. Studi pendahulu di Indonesia menyatakan bahwa perwujudan Bhineka Tunggal Ika sebagai symbol harmoni bangsa hanya dapat terwujud melalui satu identitas nasional dan menunjukkan tidak adanya pengaruh identitas agama dalam kehidupan antar kultur. Dalam studi yang sama, identitas etnis ternyata hanya berpengaruh kecil (Satriyanto,2008). Sebaliknya, pada studi Chusniyah dan Pitaloka (2009) menunjukkan bahwa identitas agama lah yang paling berpengaruh terhadap hipotesis multicultural yang digagas oleh Mogadham. Hipotesis multicultural merupakan adanya rasa percaya diri terhadap kelompok sendiri dan mampu menerima kelompok lain.

Fokus penelitian ini adalah bagaimana wacana dua pendekatan antar kelompok di Indonesia. Untuk itu, peneliti menyusun pertanyaan penelitian berupa: Bagaimana wacana terhadap kemungkinan penerapan pendekatan multikulturalisme dan colour blind di Indonesia?

Metode Penelitian

Studi ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan analisis konten untuk menjawab pertanyaan penelitian. Secara ringkas, Holsti (dalam Triandis & Berry,1980) mendefinisikan analisis konten sebagai segala teknik untuk mengambil kesimpulan secara sistematis dan objektif dengan mengidentifikasi karakteristek spesifik pada suatu catatan atau pesan text. Sementara Janis (dalam Triandis & Berry,1980) mendefinisikan lebih secara operasional, seperti dalam kutipan berikut;

”Content analysis may be defined as referring to any technique (a) for the classification of the sign-vehicles, (b) which relies solely upon the judgements (which theoretically, may range from perceptual discriminations to sheer guesses)of analyst or group of analysts as to which sign-vehicles fall into which categories, (c) on the basis of explicitly formulated rules, (d) provided that the analyst’s judgements are regarded as the reports of a scientific observer.”

Konsep operasional

Konsep operasional penelitian disusun berdasarkan ideology antar etnis multikulturalisme dan color blind yang menjadi:

  • Pendekatan multikulturalisme adalah menghargai keragaman dalam satu Indonesia dan menghargainya termasuk sisi positif dan negative yang ada
  • Pendekatan colour blind adalah menghargai tiap individu tanpa mengindahkan latar belakang, memperlakukan semua orang sama sebagai rakyat Indonesia

Subjek

Subjek penelitian adalah mahasiswa di universitas swasta yang berlatar belakang agama Islam di Jakarta sebanyak 40 mahasiswa semester 3 dan 5. Mahasiswa memiliki latar belakang etnis beragam termasuk orangtua campuran, seperti Padang-Sunda, Sunda, Jawa, Betawi, Jawa-Madura, Bugis, Jawa-Sunda,Betawi-Menado,Sunda-Kalimantan Selatan, Melayu, Bugis-Sunda,Padang-Jawa,Bima-Betawi, Batak-Menado,Aceh-Medan. Partisipan sebagian besar lahir dan besar di Jakarta, hanya beberapa yang lahir atau besar di luar Jakarta. Rentang usia partisipan mulai dari 19 – 25 tahun, sebagian besar berusia 20-22 tahun.

  Instrumen danProses Pengambilan Data

Instrumen penelitian berupa kuesioner dengan pertanyaan terbuka dan essai pendek tentang pendekatan multikulturalisme atau  colour blind. Peneliti meminta partisipan membaca essai tersebut setidaknya 2 kali dengan waktu kurang lebih 5-10 menit. Isi dari tiap essai tersebut adalah:

Essai multikulturalisme:

“Para ahli sosial menyatakan bahwa harmoni dalam masyarakat plural yang terdiri dari berbagai macam etnis dapat terwujud jika kita mampu menghargai perbedaan sebagai suatu kesatuan bangsa-negara dan menerima nilai-nilai yang terkandung di tiap perbedaan termasuk positif dan negatif.”

 Essai colour blind:

“Para ahli sosial menyatakan bahwa harmoni dalam masyarakat plural yang terdiri dari berbagai macam etnis dapat terwujud jika kita semua tampil sejajar (equal), lepas dari latar belakang etnis hingga menjadi sama antara satu dan lainnya, serta dapat saling menghargai sebagai individidu dan warga/rakyat Indonesia.”

 Selanjutnya, pertanyaan terbuka dalam penelitian ini dibacakan secara lisan oleh penelitia, yakni:

“Menurut Anda, apakah pandangan di atas dapat diterapkan di Indonesia atau tidak? Tuliskan penjelasan Anda dalam satu paragraf dan mengapa Anda merasa pandangan tersebut sesuai atau tidak sesuai untuk Indonesia.”

 Untuk mendekatkan partisipan dengan kondisi di Indonesia, maka peneliti menambahkan pertanyaan berikut yang dibacakan secara lisan, yakni:

“Bagaimana Anda menjelaskan pandangan Anda tersebut untuk system kesultanan Yogyakarta? Tuliskan dalam satu paragraph.”

Pengelompokkan partisipan berdasarkan essai pendek yang mengawali kuesioner terbuka untuk tiap partisipan. Peneliti kemudian membacakan isntruksi dan memberikan waktu pada partisipan untuk membaca essai pendek sebelum menjawab pertanyaan. Partisipan menuliskan pemikirannya secara manual dalam bentuk essai singkat. Selanjutnya peneliti melakukan koding terhadap jawaban partisipan berdasarkan dua pendekatan yakni multikulturalisme dan colour blind.

 Teknik analisis

Partisipan terbagi dalam dua kelompok yakni pendekatan multikulturalisme dan colour blind secara acak. Data partisipan yang berupa tulisan tangan diketik ke dalam program computer kemudian dilakukan koding berdasarkan konsep operasional penelitian. Analisis menggunakan teknik analisis konten dengan cara membaca berulang-ulang dan melakukan interpretasi, bukan per kata namun keseluruhan kalimat respons.

Hasildan Analisis

Data partisipan menunjukkan beberapa kategori pandangan seperti dalam paparan berikut:

Pendekatan multikulturalisme dapat diterapkan

Sebagian besar partisipan (14 dari 20) berpandangan bahwa implementasi multikulturalisme adalah suatu keniscayaan di Indonesia yang memang terdiri dari beragam etnis dan agama, seperti dalam kutipan berikut:

 

  • Partisipan1, etnis Sunda, lahir di Bekasi, besar di Jakarta:

“Bisa, karena pada dasarnya manusia saja selalu/harus hidup dengan orang lain, di sini sudah ada penerimaan adanya hidup menerima satu sama lain dan menghargai perbedaan…. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menerima dan mempunyai hati nurani.”

Partisipan3, etnis Melayu, besar dan lahir di Jakarta:

“Bisa diterapkan, karena di setiap daerah/pulau banyak terdapat suku yang hidup bersamaan.”

Partisipan5, etnis Jawa:

“Ya, dapat menerimanya karena sesuai dengan pedomen Bhineka Tunggal Ika walaupun berbeda-beda  tetapi tetap satu, tetapi tidak di sisi negatif karena di sisi negatif seringkali menimbulkan kesalahpahaman terhadap bangsa dari sisi negatif sendiri berlaku dalam budaya tertentu dan tidak menyeluruh di dalam negara Indonesia”

Partisipan8, etnis Bugis-Sunda,lahir dan besar di Jakarta:

“Bisa, diterapkan dalam/ untuk Indonesia karena kita memiliki berbagai macam suku bangsa atau etnis dengan komunikasi kita bisa menerapkan cara tersebut mengenal budaya lain/mempelajari budaya lain saling menghargai perbedaan yang ada.”

Partisipan10, etnis Padang, lahir di Tangerang, besar di Jakarta:

“….dapat diterapkan di Indonesia dikarenakan motto kebangsaan Republik Indonesia sendiri adalah “Bhineka Tunggal Ika” di mana dijelaskan bahwa di Indonesia memiliki banyaknya perbedaan baik suku, adat, agama dll.”

Partisipan12,etnis Batak-Menado, lahir dan besar di Jakarta:

“Ini sudah lumayan baik diterapkan di Indonesia yang dengan hebatnya menyatukan budaya yang sangat banyak untuk menjadikan suatu negara”

 

Pendekatan multikulturalisme sulit untuk diterapkan

Sebagian kecil partisipan ( 6 dari 20) memandang implementasi pendekatan multikulturalisme sulit bahkan ada yang tegas menyatakan tidak bisa. Menurut partisipan, hal ini karena rendahnya kemampuan masyarakat Indonesia untuk dapat menghargai perbedaan. Berikut adalah sebagian kutipan dari respons partisipan tentang penerapan pendekatan multikulturalisme:

Partisipan2, etnis Bugis, lahir di Medan, besar di Jakarta:

“Bisa, karena dengan saling menghargai perbedaan dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang masyarakatnya berasal dari berbagai macam suku bangsa. Tetapi sayangnya masyarakat Indonesia sendiri masih banyak yang belum menghargai perbedaan.”

Partisipan4, etnis Padang-Sunda,lahir di Tangerang, besar di Banten:

“……kurang pas menurut saya. Mungkin  etnis-etnis yang sudah merantau dan merasakan hidup di kota akan menerima hal yang dipaparkan di atas, namun bagaimana yang masih tinggal di daerah? Mereka yang masih tinggal di daerah masih minim bahkan tidak ada sekolah di mana mereka bisa mengetahui ilmu pengetahuan dan kehidupan di luar daerah mereka.”

Partisipan6, etnis Padang-Jawa, lahir dan besar di Jakarta:

“Perbedaan bukan menjadi masalah, perbedaan harus menjadi sesuatu yang membuat negeri ini menjadi ebih baik. namun hal ini sulit diterapkan karena berbagai perbedaan karakter warga masyarakat Indonesia dan kurangnya menghargai perbedaan yang ada.”

 Partisipan11,etnis Bima-Betawi, lahir dan besar di Jakarta:

“Sulit diterapkan karena masing-masing etnis di negara Indonesia ini belum dapat dengan mudah menerima perbedaan apalagi jika terjadi di daerah-daerah yang letaknya cukup jauh dari perkotaan. Apalagi jika harus mengambil atau menerima nilai-nilai yang ada di tiap perbedaan”

Partisipan17, etnis Betawi, lahir dan besar di Jakarta:

“Tidak sesuai, itu karena dari tiap etnis memiliki cara pandang mereka sendiri dan juga masih banyak orang yang hidup berkelompok (membuat forum/organisasi) sehingga mereka menjadi lebih berani untuk melakukan kekerasan seperti merebut lahan /wilayah orang lain.”

Partisipan20, etnis Jawa, lahir dan besar di Jakarta:

“……jika pertanyaan, apakah Indonesia mampu hidup secara harmoni dan mampu menghargai perbedaan adalah tidak, dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, masyarakat masih melihat jika satu suku atau etnis itu dianggap saudara, jangankan mengenai suku/etnis, masalah agama pun jadi perbedaan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia”

 

Pendekatan colour blind dapat diterapkan

Sebagian kecil partisipan (2 dari 20) yang memandang positif pendekatan colour blind dengan harapan agar Indonesia tidak tercerai-berai karena fanatisme sempit, seperti dalam kutipan berikut:

Partisipan1, etnis Betawi, lahir dan besar di Jakarta:

“Sesuai, karena kita bisa saling menghargai sebagai satu antara lainnya apabila latar belakang etnis tidak selalu disangkutpautkan dalam segala hal. Tetapi menurut saya, hal seperti ini sulit dijalankan oleh warga/rakyat Indonesia yang masih membedakan etnis yang satu dan lainnya, dan kebanyakan warga/rakyat Indonesia masih banyak yang melatarbelakangi etnis masing-masing.”

Partisipan18, etnis Sunda, lahir di Jakarta, besar di Bekasi:

“Hal ini seharusnya bisa diterapkan di Indonesia, dikarenakan dengan background bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai lebih dari satu etnis. Sehingga perlu adanya equal agar terjadi keharmonisan dan mengantisipasi tindakan-tindakan kriminalitas, atau fanatik sempit akan suatu etnis.

 

Pendekatan colour blind sulit diterapkan

Sebagian partisipan (6 dari 20) memandang negative pendekatan colour blind karena beberapa alasan, yakni (a) perbedaan tidak seharusnya dihilangkan atau menjadi seragam; (b) masyarakat belum dapat membaur; (c) masyarakat masih membeda-bedakan berdasarkan etnis. Berikut adalah kutipan partisipan:

Partisipan2,etnis Betawi, lahir dan besar di Jakarta:

“…tidak pas di Indonesia, karena kita memiliki keanekaragaman yang sangat kaya, dan untuk hidup harmoni tidak harus melepaskan latar belakang etnis sehingga menjadi sama, tapi untuk hidup harmoni adalah dengan menghargai kebangsaan kita yang satu yaitu bangsa Indonesia….. sayang sekali jika untuk hidup harmoni kita harus menghilangkan kekayaan seni dan tradisi di Indonesia”

 Partisipan3, etnis Jawa, lahir dan besar di Jakarta:

“…rasanya agak sulit karena masyarakat Indonesia sudah terlebih dahulu melihat background dari etnis tertentu,namun apabila ditanamkan dalam diri masing-masing, hal ini bisa terwujud, karena saya sendiri tidak memandang dan menilai orang lain tidak berdasarkan latar belakang etnis. Saya merasa pandangan-pandangan latar belakang etnis berawal dari orang-orang tua dulu dan turun menurun pada anak cucunya.”

Partisipan6, etnis Sunda, lahir dan besar di Jakarta:

“Saya merasa tidak sesuai karena budaya lahir sejak dulu kala walaupun telah terjadi proses kulturasi budaya. Saya merasa dengan latar belakang etnis yang dimiliki saya tetap bisa tampil sejajar dan dapat saling menghargai, karena Indonesia adalah negara yang ber Bhineka Tunggal Ika.”

Partisipan8, etnis Betawi, besar dan lahir di Jakarta:

“…tidak bisa diterapkan di Indonesia. Karena di Indonesia terlalu banyak suku-suku bangsa, dengan adat istiadat yang berbeda yang sudah lama diterapkan oleh masing-masing suku bangsa, dan mungkin jika hal ini diterapkan di Indonesia, mungkin banyak masyarakat Indonesia yang tidak setuju dan tidak terima, tidak dengan cara itu masyarakat di Indonesia juga masih dapat menghargai antar suku”

Partisipan9,etnis Jawa, lahir di Surabaya, besar di Jakarta:

“Di Indonesia belum bisa diterapkan. Negara kita masih saling membeda-bedakan rasa satu dengan yang lainnya….. Untuk menjadi Indonesia yang satu, menurut saya masih belum bisa dipraktekan di Indonesia. Ada beberapa ras yang masih merasa bahwa ras mereka no.1 atau tertinggi di Indonesia dan sebaliknya.”

Partisipan13, etnis Jawa-Sunda, lahir dan besar di Jakarta:

“Belum bisa, karena masyarakat Indonesia belum bisa meleburkan diri pure menjadi berbaur, exp: “Ih dasar orang Padang pelit”, kata-kata yang seperti itu membuat sesuatu perpecahan.”

 

Dukungan terhadap multikulturalisme

Sebagian besar partisipan (11 dari 20) memahami pandangan colour blind sebagai bentuk kesatuan dari beragam kelompok seperti tertuang dalam symbol bangsa yakni Bhinneka Tunggal Ika:

 

  • Partisipan4, etnis Sunda, lahir dan besar di Depok:

“Menurut saya Indonesia dapat menjadi satu dan dapat saling menghargai meskipun berbeda-beda etnis, mengapa? Karena pasti ada beberapa hal yang dapat menyatukan bangsa ini. … Saat di Gelora Bung Karno, puluhan ribu etnis ada di situ dan tentunya tidak saling mengenal tetapi dengan adanya kekompakan suporter dan harapan menang, semua menjadi satu.”

Partisipan5, etnis Jawa, lahir dan besar di Jakarta:

“Menurut saya, harusnya bisa diterapkan di Indonesia, di negara yang mempunyai banyak suku dan budaya, dengan terbuktinya terjalin kerjasama yang baik, khususnya di Jakarta, banyak suku dan budaya yang dibawa daerah masing-masing dan bisa diterapkan di sini, dari kebiasaan budaya, adat istiadat hingga gotong-royong dan mewujudkan kalimat “Bhineka Tunggal Ika” yang menjadi tagline negara Indonesia.”

Partisipan7, etnis Betawi, lahir dan besar di Jakarta:

“Tidak bisa, karena ego masyarakat Indonesia masih terlalu tinggi,… Rasanya Indonesia memang masih terlalu jauh dari harmonis. Tingkat pendidikan yang rendah serta kemiskinan masih menciptakan jarak antara kaum borjuis dan proletar dan hal tersebut masih berlaku di setiap suku. Perlu adanya campur tangan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan etnis misal; pemerintah masuk dalam dunia pendidikan agar mereka-mereka yang tidak mengerti makna Bhineka Tungga Ika jadi lebih mengerti.”

Partisipan10, etnis Jawa-Sunda, lahir di Jakarta, besar di Bekasi:

“belum sesuai dengan Indonesia karena pada kenyataannya masih adanya konflik-konflik yang melibatkan etnis-etnis. Perbedaan pandangan saat bertemu etnis lain yang berbeda juga dapat melihatkan bahwa bangsa ini belum bisa menjadi masyarakat plural yang menerima nilai-nilai positif dari etnis lain.”

 

  • Partisipan14, etnis Jawa-Madura, lahir dan besar di Jakarta:

“Menurut saya segala perbedaan dari berbagai karakter dan etnis yang ada di Indonesia dapat dijadikan satu harmoni jika saja setiap individu mengerti dan menyadari akan harmoni tersebut.”

Partisipan15, etnis Betawi-Manado, lahir dan besar di Jakarta:

“….bisa diterapkan, apabila berbagai etnis dapat saling menghargai dan merubah gaya hidup dengan tetap bergaya hidup dengan suku bangsa Indonesia tanpa ada pengaruh akan tetapi dari inisiatif kita sendiri”

 Partisipan16, etnis Betawi, lahir dan besar di Jakarta:

“Karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak suku bangsa dan berbagai macam etnis budaya. Indonesia juga merupakan negara yang terkenal atas sikap ramahnya. Untuk itu, apabila masyarakat Indonesia dapat saling menghargai satu sama lain, dan didukung dengan berbagai macam budaya yang dimiliki dapat menjadi sebuah negara yang harmoni.”

Partisipan17, etnis Sunda-Kalimantan Selatan, lahir di Sukabumi, besar di Bekasi:

“Ya, karena warga/rakyat Indonesia sangat menghargai, menghormati adanya perbedaan etnis. Bisa dilihat banyaknya warga/rakyat Indonesia yang menikah dengan berbagai suku bangsa yang sangat berbeda.”

Partisipan18, etnis Sunda, lahir di Jakarta, besar di Bekasi:

“…saya sangat yakin bahwa ini pasti dapat diterapkan, dapat diterapkan karena sebagian besar warga Indonesia menyadari betul bahwa Indonesia terdiri dari bermacam-macam etnis namun tetap berada di sebuah negara yaitu Indonesia”

 Partisipan20, etnis Sunda, lahir dan besar di Jakarta:

“…bisa diterapkan di Indonesia, karena di Indonesia banyak sekali suku bangsa dan jika disatukan masyarakat memiliki tenggang rasa yang cukup baik,..”

 

Implementasi praktis di Indonesia

    • Dukungan terhadap multikulturalisme

Sebagian partisipan (20 dari 40,yakini: 9 dari kelompok colour blind dan 11 dari kelompok multikulturalisme)  cenderung untuk mendukung/menginginkan penerapan multikulturalisme di Indonesia melalui apresiasi kultur secara praktis seperti dukungan kepada kepemimpinan sultan di Yogyakarta, baik secara kultur maupun pemerintahan. Dukungan lain adalah dengan menyerahkan pada keinginan rakyat untuk pelestarian kultur sebagai salah satu ciri bangsa multikultur dan penerjemahan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berikut adalah beberapa kutipan jawaban partisipan:

  • Partisipan1-kelompok multikulturalisme, etnis Sunda, lahir di Bekasi, besar di Jakarta:

“Sultan tetap menjadi gubernur. Yogya adalah daerah yang istimewa dan secara turun menurun budaya yang terjadi sudah seperti itu, apabila pemilihan gubernur dilakukan secara pemilu, maka keistimewaan Yogya berakhir dan budaya/sudut pandang masyarakat/ kepercayaan/ perilaku akan berubah/hancur.”

Partisipan5-kelompok colour blind, etnis Jawa, lahir dan besar di Jakarta:

“…biarkan masyarakat Yogya berjalan dengan tenang dipimpin oleh sultan Hamengkubuwono dan dengan apa yang telah mereka percayakan selama ini.”

Partisipan4-kelompok multikulturalisme, etnis Padang-Sunda, lahir di Tangerang, besar di Banten:

“Saya lebih memilih untuk pengangkatan kesultanan tetap diambil dari keturunan kerajaan kesultanan, karena menurut saya apabila ada pihak lain yang masuk yang menjadi sultan itu dapat menimbulkan bencana,..”

 Partisipan7-kelompok colour blind, etnis Sunda, lahir dan besar di Jakarta:

“Memang Yogya menjadi keunikan tersendiri akan kebudayaannya yang kental tetapi balik lagi dampak terbesar yang dirasakan adalah oleh rakyatnya sendiri. Mungkin harus ada pengecualian agar tetap menghargai budaya yang ada.”

 Partisipan10–kelompok multikulturalisme,etnisPadang,lahir di Tangerang, besar di Jakarta:

“…pemerintahan RI tentunya dapat memberikan sebuah keputusan yang sekiranya tidak merubah adat istiadat di daerah tersebut maupun di daerah lain dan juga memberikan keputusan berdasarkan kemauan atau aspirasi dari rakyat ..”  

Partisipan11-kelompok colour blind, etnis Betawi, lahir dan besar di Jakarta:

“Setuju agar sultan menjadi gubernur, karena seperti kita tahu keberadaan kerajaan Yogyakarta itu sendiri ada sebelum Indonesia berdiri dan wajar saja keistimewaan tersebut diberikan. Dan masyarakat Yogyakarta itu sendiri sangat loyal terhadap sultannya (bertindak sebagai gubernur), dan bila suatu waktu yang bertindak sebagai gubernur bukanlah sultan, yang ada malah kerusuhan, ketidakharmonisan, dan pemerintahan pun tidak akan dapat berjalan secara normal.”

Dukungan terhadap color blind

Sebagian partisipan (19 dari 40: 9 dari kelompok multikulturalisme dan 10 dari kelompok color blind) menunjukkan dukungan terhadap pemilihan pemimpin (gubernur) seperti daerah lain di Indonesia. Mereka memandang bahwa setiap individu memiliki hak sama untuk menjadi pemimpin di negara demokrasi, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berikut adalah kutipan dari beberapa respons partisipan;

Partisipan3-kelompok multikulturalisme, etnis Melayu, lahir dan besar di Jakarta:

“Menurut saya, lebih baik dipilih oleh masyarakat karena di Indonesia menetapkan sistem demokrasi. Biar rakyat yang memilih jadi pemimpinnya, karena pemimpin akan menjadi panutan bagi masyarakat. Yogyakarta terkenal dengan kota pendidikan jadi masyarakat Yogyakarta bisa memilih dengan baik pemimpinnya.”

 

  • Partisipan1-kelompok color blind, etnis Betawi, lahir dan besar di Jakarta:

“Saya kurang setuju, karena negara kita negara yang demokratis dan saya lebih setuju diadakannya pilkada, yang di mana semua warga/rakyat Indonesia boleh mengajukan atau mencalonkan dirinya sebagai pejabat daerah.”

Partisipan6-kelompok multikuturalisme, etnis Padang-Jawa, lahir dan besar di Jakarta:

“Sebaiknya pemilihan kesultanan di Yogyakarta dipilih seperti pemilihan kepala daerah (pemilu/pilkada). Karena hal tersebut dapat membuat seluruh WNI merasa dihargai dan dinilai “setara” dengan orang yang mungkin berdarah biru/ berasal dari keluarga kesultanan.”

Partisipan2-kelompok color blind, etnis Betawi, lahir dan besar di Jakarta:

“Untuk pemilihan penetapan gubernur lebih baik dipilih melalui pilkada karena dengan begitu dapat memberikan kesempatan untuk penerus daerah Yogya di luar kesultanan dapat memperbaiki Yogya. Karena belum tentu juga setiap sultan memiliki kredibilitas tinggi seperti Sultan Hamengkubuwono 9 dalam memajukan Yogya, meskipun sistem kerajaan menjadi ciri khas Yogya tapi aturan tetap aturan negara yang satu negara Indonesia.”

 

  • Partisipan3-kelompok color blind, etnis Jawa, lahir dan besar di Jakarta:

“Negara kita merupakan negara demokratis bukan negara kerajaan, apabila ada kerajaan di dalamnya, maka kerajaan tersebut tidak bercampurtangan pada urusan kepemerintahan dan kenegaraan. Di negara ini pemimpin seharusnya dipilih bukan ditetapkan hanya seorang calon tunggal. Sultan boleh saja mencalonkan diri, namun harus ada calon lain dan pendukung seluruh masyarakat Yogya untuk memilihnya sebagai gubernur, kalau memang ia memiliki banyak pendukung, maka ia kredibel dan pantas menjadi gubernur. Ia boleh saja berkuasa di kerajaannya, namun tidak di daerah. Karena bisa saja masih ada orang yang lebih berkompeten untuk meminpin Yogya.”

 

  • Partisipan6-kelompok multikuturalisme, etnis Jawa, lahir dan besar di Jakarta:

“Sebaiknya dilakukan pemilihan gubernur seperti pilkada, agar masyarakat Yogya bisa memilih siapa orang baik/pantas dijadikan gubernur dan mungkin semua orang-orang yang menjabat bisa berlomba-lomba untuk menjadi sultan dengan cara pilkada”

 

DISKUSI

Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa implementasi Bhinneka Tunggal Ika hanya bisa dicapai melalui satu identitas yakni identitas nasional. Pada implementasinya, Indonesia memiliki tantangan besar untuk menerjemahkan identitas nasional yang berakar pada Bhinneka Tunggal Ika (Satriyanto,2008).  Kehidupan multicultural di negara lain menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengakui perbedaan secara formal dan menjadi lembaga, seperti adanya kebijakan yang melindungi baik kelompok mayoritas maupun minoritas untuk bersama menampilkan karakternya. Salah satunya adalah penerapan dua bahasa nasional Inggris dan Perancis di Kanada. Konsep ini tentu tidak dapat secara mentah diterapkan di Indonesia karena memiliki ratusan etnis dan bahasa, enam agama resmi dan kepercayaan lain di masyarakat. Bahasa Indonesia sendiri merupakan salah satu identitas nasional yang dapat dikatakan sebagai prestasi anak bangsa yang menyatukan banyaknya keragaman dari Sabang sampai Merauke.

Bahasa Indonesia menjadi harapan dan awal tumbuhnya nasionalisme sejak peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 hingga masa setelah kemerdekaan. Kebanggan atas suatu bangsa menunjukkan bagaimana hubungan antara individu dan bangsa-negara secara simbolik dan personal. Searle-White (2001) menyatakan bahwa nasionalisme merupakan identifikasi individu atau masyarakat terhadap satu kelompok besar yakni bangsa-negara yang memiliki kesamaan sejarah, bahasa, wilayah, kultur atau kombinasi semuanya.

“Nationalism, in its broadest definition… is simply a sense of identification with a group of people who share a common history, language, territory, culture, or some combination of these.”  (Searle-White,2001)

 

Penjelasan ini menunjukkan pentingnya identitas social untuk memahami kewarganegaraan dan kelekatan nasional. Dalam konteks ini, maka pemaknaan identitas social erat dengan faktor situasional dan motivasional yang menyertai (Brewer dalam Borgida,Federico,& Sullivan,2009).

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya dukungan terhadap pendekatan multikulturalisme yang menekankan ruang untuk tumbuhnya beragam kultur dalam satu bangsa-negara. Pandangan partisipan terbagi menjadi dua yakni (a) meyakini bahwa pendekatan ini sesuai dan dapat diimplementasikan di Indonesia; dan (b) meyakini meskipun mungkin bahkan seharusnya diterapkan namun sulit secara konkret. Secara general, 14 dari 20 partisipan di kelompok multikulturalisme yang berasal beragam etnis menyatakan bahwa masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam etnis atau agama mampu hidup berdampingan dan memiliki tenggang rasa/toleransi. Gambaran ini menunjukkan adanya pemahaman dan keinginan partisipan untuk implementasi semboyan bangsa (Bhinneka Tunggal Ika) secara konkret. Mereka juga menyebutkan semboyan bangsa secara jelas untuk kehidupan multikulturalisme di Indonesia. Sementara sebagian partisipan memandang penerapan pendekatan ini tidak mudah karena mereka melihat masyarakat Indonesia sulit menghargai perbedaan. Data juga menunjukkan nada pesimis atau sinis tentang kehidupan antar kelompok yang penuh toleransi.

Pada sisi lain, dukungan terhadap pendekatan ini juga terkandung di dalam respons partisipan dari kelompok colour blind. Sebanyak 10 dari 20 partisipan menginterpretasikan esai (pendekatan colour blind) sebagai bentuk kehidupan antar kelompok yang penuh toleransi. Sebagian partisipan juga secara jelas mengaitkan pendekatan ini dengan Bhinneka Tunggal Ika. Hasil menunjukkan adanya keinginan dan pemahaman partisipan tentang toleransi antar kelompok berbeda untuk menciptakan kehidupan plural yang harmoni di Indonesia. Bentuk dukungan lain terhadap pendekatan ini tergambar pada respons partisipan terhadap satu fenomena di Indonesia yakni Kesultanan Yogyakarta. Sebanyak 20 dari 40 partisipan cenderung menginginkan pemerintah untuk menyerahkan dan percaya dengan pilihan rakyat Yogyakarta yakni menyatunya pimpinan cultural dan lembaga pemerintahan. Partisipan juga memandang bahwa bentuk kesultanan merupakan salah satu langkah pelestarian kultur dan mencemaskan kelestariannya jika menggunakan system seragam dengan daerah lain yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung oleh masyarakat. Hasil ini cukup menarik karena semua partisipan berada di Jakarta, lahir dan besar di Jakarta dengan latar belakang etnis beragam. Hal ini mungkin dapat menunjukkan pemahaman dan apresiasi partisipan sebagai bagian dari satu bangsa yakni Indonesia di mana eksistensi satu kultur menjadi kebanggaan bangsa, bukan hanya dari masyarakat yang memiliki kultur tersebut. Interpretasi ini menjadi satu sinyal positif bagi perkembangan nasionalisme,sekaligus pemaknaan dan implementasi Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.

Respons partisipan kelompok color blind terbagi menjadi tiga, yakni (a) menyetujui implementasinya; (b) tidak setuju; dan (c) memaknai sebagai pendekatan multikulturalisme. Hanya dua dari 20 partisipan menyetujui untuk adanya perlakuan ekual pada semua individu (masyarakat) tanpa memikirkan latar belakang etnis atau kelompok lainnya. Meski demikian, mereka juga sedikit meragukan implementasinya karena memandang bahwa masyarakat Indonesia telah terbiasa membuat atau memperlakukan orang lain berdasarkan kategori etnis/lainnya. Partisipan lain juga memandang perlunya perlakuan ekual untuk mencegah fanatisme sempit yang memicu konflik antar kelompok. Sementara partisipan lain (6 dari 20) cenderung tidak menyetujui pendekatan ini karena memandang seharusnya Indonesia mampu berdiri dan bersatu dengan memanfaatkan keragaman etnis yang ada. Kecenderungan ini secara tidak langsung /implicit menghendaki terjaganya kehidupan tiap perbedaan secara harmoni. Mereka juga mengaitkan sikap ini dengan semboyang Bhinneka Tunggal Ika sebagai akar bangsa. Pada sisi lain, sebagian besar partisipan (11 dari 20) justru menginterpretasikan pendekatan ini sebagai pola konkret dari Bhinneka Tunggal Ika. Pernyataan mereka menunjukkan pemahaman tentang pendekatan multikulturalisme yang menghendaki hak hidup tiap perbedaan. Hasil ini semakin menunjukkan dukungan terhadap pendekatan multikulturalisme dalam kehidupan Indonesia yang plural.

Pada bagian lain di mana partisipan diminta menanggapi satu fenomena Indonesia yakni Kesultanan  Yogyakarta, partisipan secara general terbagi menjadi dua kategori cukup berimbang yakni mendukung (20 dari 40 partisipan) dan menolak (19 dari 40 partisipan). Sementara satu partisipan tidak jelas menyatakan sikapnya dan menyerahkan pada pemerintah untuk yang terbaik. Hasil ini menimbulkan tanda tanya karena pada kategori sebelumnya, sebagian besar partisipan cenderung untuk menginginkan untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kultur di Indonesia. Akan tetapi, hasil ini juga dapat menunjukkan keinginan untuk membedakan peran dan kehidupan masyarkat secara kultur dan lembaga formal/pemerintahan yang berbeda. Hasil penelitian tidak dapat memprediksi atau membentuk generalisasi atas dukungan partisipan terhadap salah satu pendekatan multiculturalism atau color blind di Indonesia. Untuk itu, perlu penelitian lebih lanjut guna mendapatkan gambaran lebih luas di masyarakat Indonesia.

 

KESIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan setidaknya dua sikap partisipan yakni: (a) dukungan terhadap pendekatan multikulturalime; dan (b) dukungan terhadap pendekatan color blind. Pemahaman akan pentingnya hidup dengan beragam perbedaan tergambarkan pada saat partisipan diminta untuk mencermati antara konsep multikulturalisme dan color blind dengan bangsa Indonesia secara general. Secara implicit partisipan menunjukkan kesadaran atas identitas kolektif sebagai bangsa yang terdiri dari beragam etnis dan agama. Sementara, partisipan terlihat ragu ketika harus menyikapi fenomena kultur yang factual di Indonesia yakni pemerintahan di Yogyakarta. Sebagian berpandangan bahwa kehendak sebagian masyarakat untuk menolak pemilihan kepala daerah dan menetapkan sultan sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus kultur adalah salah satu hak dalam kehidupan plural. Pada sisi lain, sebagian partisipan tidak sepakat dan cenderung menunjukkan sikap seperti yang terkandung dalam konsep color blind yakni menyatukan system atas nama demokrasi.

 

KRITIK DAN SARAN

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yakni tidak adanya partisipan dalam kelompok kontrol. Partisipan hanya terbagi dalam dua kategori yakni kelompok multikulturalisme dan kelompok color blind  di mana tiap kelompok hanya mendapatkan stimulus (esai) sesuai kategori. Untuk penelitian selanjutnya, hendaknya peneliti mengikutkan kelompok kontrol untuk memberikan gambaran lebih komprehensif. Saran lain untuk penelitian selanjutnya adalah mengenakan pada partisipan di wilayah luar Jakarta, termasuk di Yogyakarta atau daerah yang menjadi stimulus faktualnya. Hal ini kemungkinan akan memberikan informasi tentang afeksi dan kehidupan antar kelompok di masyarakat.

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan menjadi landasan untuk penelitian lain di bidang pluralisme, multicultural dan nasionalisme dari perspektif psikologi social. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi pihak terkait untuk menciptakan system untuk kehidupan plural di Indonesia. Meskipun membutuhkan penelitian lanjutan, namun hasil penelitian ini menunjukkan adanya kesadaran dan harapan untuk menerapkan Bhinneka Tunggal Ika lebih konkret.

 

DAFTAR REFERENSI

Banting, Keith & Kymlicka, Will (2006) Introduction multiculturalism and the welfare state: setting the context. Dalam Dalam Banting & Kymlicka (Ed) Multiculturalism and the welfare state: recognition and redistribution in contemporary democracies. New York; Oxford University Press

Bertrand, Jacques (2004). Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Brewer,Marliynn B. (2009) Social identity and citizenship in a pluralistic society. Dalam Borgida,Eugene.,Federico,Christopher M.,& Sullivan,John L.(Ed) The Political Psychology of Democratic Citizenship. Oxford; Oxford University Press

Brummet,B.R.,Wade,J.,Ponterotto,J.G.,Thombs,B.&Lewis,C.(2007) Psychosocial Well-Being and a Multicultural Personality Disposition. Journal of Counseling & DevelopmentVolume 85, Number 1 / Winter 2007

Chusniyah,Tutut & Pitaloka,Ardiningtiyas (2009) Pengaruh Identitas Nasional, Etnis dan Agama terhadapMultikulturalisme dalam menghadapi Globalisasi di Indonesia. Jurnal psikologi sosial,volume 15,no.2

Feist,J.&Feist G.J.(2002) Theories of personality-fifth edition.Boston; McGraw-Hill.

Gutiérresz,Angélica S. & Unzueta,Miguel M.(2010) The effect of interethnic ideologies on the likability of stereotypic vs.counterstereotypic minority targets. Journal of Experimental Social Psychology 46,774-784

Judd, Charles H. & Park,Bernadette (2009) Diverging ideological viewpoints on pathways to more harmonious intergroup relations. Dalam Borgida,E.,Federico,C.M.,Sullivan,J.L. (Ed) The political psychology of democratic citizenship: series in political psychology. Oxford; Oxford University Press

Kitayama, S. & Cohen,D. (2007) Handbook of cultural psychology. New York; Guilford Press

Leung,Angela K.-Y & Chiu,Chi-yue (2008) Interactive effect of multicultural experiences and openness to experience on creative potential. Creativity Research Journal,20:4,376-382.

Malik, Ichsan (2003) Bakubae: the community based movement for reconciliation process in Maluku. Jakarta: Bakubae Maluku, Tifa Foundation and Yayasan Kemala.

Maddux.W.W.&Galinsky,A.(2009) Cultural Borders and Mental Barriers: The Relationship Between Living Abroad and Creativity. Journal of personality and social psychology, vol.96,no.5,1047- 1061

Maddux,W.W.,Adam,H.,& Galinsky,A.D (2010) When in Rome… Learn Why the Romans Do What They Do: How multicultural learning experience facilitate creativity. Personality and social psychology bulletin, 36 (6) 731-741.

Matsumoto,David (2001) The handbook of culture and psychology. New York; Oxford University Press.

Moghaddam, F.M. (2008) Multiculturalism and intergroup relations: psychological implications for democracy in global content. Washington: American Psychological Association.

Ponterotto,J.G.,Mendelowitz,D.E.,&Collabolletta,E.A.(2008) Promoting multicultural personality development:  a strength-based, positive psychology worldview for school. Professional School Counseling,December 2008.

Plaut,Victoria C.,Thomas,Kecia M.& Goren,Matt J.(2009) Is multiculturalism or color blindness better for minorities? Association for Psychological Science

Plaut, Victoria C.; Garnett, Flannery G.; Buffardi, Laura E.; Sanchez-Burks, Jeffrey  (2011) “What about me?” Perceptions of exclusion and Whites’ reactions to multiculturalism. Journal of Personality and Social Psychology, Vol 101(2), Aug 2011, 337-353.Abstract.

Ryan,Carey S.,Hunt,Jennifer S.,Weible,Joshua A.,Peterson,Charles R.,&Casas,Juan F.(2011) Multicultural and colourblind ideology, stereotypes, and ethnocentrism among Black and White Americans. Group Processes & Intergroup Relations,2007,vol.10 (4),617-687

Richeson,Jennifer A.& Nussbaum,Richard J.(2004) The impact of multiculturalism versus color-blindness on racial bias. Journal of Experimental Social Psychology,49 (2004) 417-423

Reitz, J. G., Breton, R., Dion, K.K., & Dion, K.L. (2009) Multiculturalism and social cohesion – potentials and challenges of diversity.  Canda; Springer.

Satriyanto,Thomas (2008) Pengaruh Representasi Sosial tentang Bhinneka Tunggal Ika dan Identitas Sosial Terhadap Dukungan Gagasan Multikulturalisme. Depok;Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tesis.

Searle-White,Joshua (2001) The psychology of nationalism.New York; Palgrave.

Stevens,Flannery G.,Plaut,Victoria C.,& Sanchez-Burks,Jeffrey (2008) Unblocking the benefits of diversity: all inclusive multiculturalism and positive organizational change. Journal of Apllied Behavioral Science.44;116

Tadmor,C.T.,Tetlock,P.E.,& Peng,K.(2009) Acculturation strategies and integrative complexity: the cognitive implications of biculturalism. Journal of cross-cultural psychology,vol.40,no.105-139.

Triandis, Harry C. & Berry, John W. (1998) Handbook of cross-cultural psychology: methodology volume 2. Boston; Allyn and Bacon,Inc.

Verkuyten,M.& Martinovic,B.(2006) Understanding multicultural attitudes: the role of group status, identification, friendships and justifying ideologies. International Journal of Intercultural Relations, 30 (2006) 1–18

Vickers,Adrian (2005) A history of modern Indonesia.New York; Cambridge University Press.

Wolsko,Christopher.,Park,Bernadette.,Judd,Charles M.,& Wittenbrick,Bernd (2000) Framing interethnic ideology: effects of multicultural and color-blind perspective on judgementsof groups and individuals. Journal of Personality and Social Psychology,2000,vol.78,no.4,635-654