Hetti Rahmawati

hetti.rahmawati.fppsi@um.ac.id

Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang No. 5 Malang, Indonesia

 

Makalah disajikan dalam Seminar Nasional dan Call for Paper “Pendekatan Integratif Pendidikan Seksual dalam Menyiapkan Generasi Emas Indonesia”, Universitas Negeri Malang,  2 November 2014

 

 

 

Abstrak. Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Posyandu Kecamatan Kasembon bertujuan untuk menyentuh remaja dengan kegiatan konstruktif terkait dengan kesehatan reproduksi remaja. Inovasi program edukasi diperlukan untuk meningkatkan penerimaan dan keterlibatan remaja karena sesuai dengan karakteristik remaja yang memiliki keunikan. Sehingga diperlukan identifikasi permasalahan tentang faktor pendukung dan penghambat yang berkaitan dengan pelaksanaan program tersebut. Penggalian data dilakukan lewat  Focus Group Discussion (FGD) pada 15 orang remaja yang tinggal di Kecamatan Kasembon dan berusia 15-19 tahun. Temuan di lapangan menunjukkan adanya kebutuhan edukasi kesehatan reproduksi, faktor-faktor yang menghambat dan mendukung remaja mengakses pengetahuan kesehatan reproduksi, dan bagaimana meningkatkan minat remaja untuk berpartisipasi di Posyandu Remaja. Berdasarkan hasil diskusi kelompok terarah ini dapat disimpulkan urgensi pendayagunaan sesama remaja (peer educator) atau tutor sebayasebagai strategi dalam merangkul sasaran remaja agar ikut berpartisipasi dalam Posyandu Remaja.

 

Kata Kunci : edukasi kesehatan reproduksi remaja, program pelayanan kesehatan peduli remaja

 

LATAR BELAKANG

Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) sudah diawali dan dijalankan di wilayah kewenangan Puskesmas Kasembon, namun evaluasi kebutuhan serta hambatan dalam implementasi program tersebut masih belum dilakukan. Sehingga penting dilakukan identifikasinya di kalangan remaja sebagai subjek dari program ini. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) adalah salah satu model layanan kesehatan bagi remaja di Puskesmas. PKPR sebagai salah satu program yang bertujuan memberikan layanan dan pemenuhan hak kesehatan bagi remaja khususnya kesehatan reproduksi. Sementara pengertian kesehatan reproduksi  menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Remaja menurut WHO adalah mereka yang berusia 10–19 tahun dan belum menikah (Depkes RI 2003).

Macam-macam pelayanan yang diberikan PKPR yaitu meliputi konseling, pemeriksaan kesehatan, pengobatan penyakit, penyuluhan kesehatan melalui diskusi dan dialog. Keberhasilan pelaksanaan program tersebut menuntut keterlibatan aktif remaja sebagai salah satu pengguna. Remaja memiliki karakteristik yang unik, menyukai hal yang dinamis dengan pendekatan lebih sejajar dan ramah remaja. Maka dalam hal ini perlu lebih dahulu identifikasi permasalahan agar diperoleh data tentang apa dan bagaimana dalam memperkuat keberlanjutan program PKPR ini.

Data awal yang ada mengenai cohort ibu melahirkan di periode Januari – Oktober 2014 dari 253 persalinan yang tercatat di Puskesmas Kasembon  terdapat 44  persalinan  dialami oleh  ibu dengan usia di bawah 20 tahun. Perinciannya adalah ibu berusia 15 tahun sebanyak 3 orang , berusia  16 th = 3 orang ; 17 th = 7 orang ; 18 th = 14 orang ; 19 th = 17 orang. Dari sini nampak fakta bahwa ada kehamilan dan persalinan di usia dini di lingkungan Puskesmas Kasembon sebesar 17,39% dalam kurun waktu Januari – Oktober 2014. Fakta ini adalah kondisi yang menunjukkan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi yang positif, yang sangat diperlukan dalam hal ini untuk mencegah prevalensi kehamilan dini yang berisiko pada meningkatnya angka kematian ibu dan bayi khususnya di Kecamatan Kasembon.

 

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dukungan dan hambatan yang dirasakan remaja dalam implementasi program PKPR, ditinjau dari persepsi sikap (attitude) dan keterlibatan (interest) kaitannya dengan langkah strategis PKPR. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif, subjek penelitian adalah remaja yang terdiri dari remaja sekolah dan remaja komunitas. Responden penelitian adalah 15 orang. Namun sebelumnya ada pengambilan data awal dengan menggunakan wawancara mendalam bersama bidan senior koordinator kecamatan dan kader PKPR, dilanjutkan triangulasi dengan Focus Group Discussion (FGD) pada remaja pengguna program PKPR.

Metodologi yang digunakan adalah focus group discussion (FGD) atau diskusi kelompok terarah dengan cara mendengar dan belajar dari remaja sendiri tentang apa kebutuhan mereka dan bagaimana mengatasinya permasalahan tersebut (Morgan, 1998). Diskusi kelompok terarah dilakukan sebagai pendekatan penelitian kualitatif yang dapat memperoleh data dengan cepat.

Diskusi kelompok terarah dimaksudkan untuk mengeksplorasi bagaimana mereka berpikir, dan mengapa mereka berpikir dan berperilaku terhadap isu-isu kesehatan reproduksi remaja. Metode penelitian ini berguna ketika peneliti belum cukup pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan program PKPR. Lewat diskusi kelompok terarah diharapkan diperoleh informasi yang kaya tentang apa yang dirasakan, dipikirkan dan dipahami peserta. Sifat diskusi kelompok terarah yang fleksibel menjadi dasar mengapa metode ini dapat diterapkan pada berbagai topik, pada berbagai karakteristik peserta yang beragam pula (Stewart, dkk., 2009) serta mengeksplorasi  kesenjangan antara apa yang orang katakan dan apa yang mereka lakukan (Conradson, 2005).

Diskusi kelompok terarah (focus group discussion) umumnya terdiri dari kelompok-kelompok kecil, biasanya empat sampai enam peserta, yang diselenggarakan dengan tujuan untuk membahas topik tertentu. Paling sering, diskusi dipandu oleh peneliti dan diamati oleh peneliti kedua. Kadang-kadang, orang ketiga atau keempat orang yang terlibat dalam perencanaan sesi, membantu dalam mengumpulkan dan menganalisa data. Catatan verbatim diskusi disiapkan untuk memastikan akurasi peneliti dalam menulis laporan. Diskusi kelompok terarah dilakukan karena membutuhkan latar belakang untuk penelitian lebih lanjut berkaitan dengan urgensi tutor sebaya dalam program PKPR. Peneliti tertarik pada nuansa sikap atau keyakinan remaja terkait dengan program PKPR.  Peneliti ingin mempelajari apa kosa kata umum terkait dengan masalah tersebut, dan  ingin mengumpulkan informasi untuk merancang ulang program atau mendiagnosis masalah. Pertimbangan pelaksanaan diskusi kelompok terarah adalah biaya yang ekonomis dan waktu yang efektif.

Informasi yang diperoleh dari hasil diskusi kelompok terarah dibuat katalog, biasanya disebut “coding“, untuk membuat kategori dari sekumpulan informasi yang sama polanya maupun istilah. Langkah yang dilakukan setelah data diskusi kelompok terarah dikumpulkan adalah mencari umpan balik kembali dari beberapa anggota kelompok diskusi untuk mengenai akurasi pemahaman peneliti dari isi dan makna. Hal ini disebut cek validitas: apakah diskusi benar-benar mengungkapkan  topik tentang itu.

Stewart dan Shamdasani (1990) menyatakan bahwa analisis isi data dari diskusi  kelompok terarah perlu dilakukan dengan hati-hati agar diskusi mencerminkan keterwakilan kelompok populasi yang ada. Peneliti perlu mengembangkan panduan diskusi dan instrumen untuk pengkodean isi diskusi.  Dan fasilitator kelompok dipersiapkan dengan latihan memandu diskusi dengan baaik sebelumnya dan dipersiapkan piranti perekam, jika memungkinkan.  Sehingga data secara sistematis dapat direkam dan diskusi dipandu dengan baik sehingga tidak keluar dari jalur dan masing-masing peserta mengungkapkan informasi sejelas-jelasnya. Selama sesi latihan, fasilitator dimaksudkan atau fasilitator melakukan pretest dan membangun strategi dan praktek intervensi yang menjaga diskusi dalam batas-batas yang dapat diterima.

 

PROSEDUR PENELITIAN

Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Responden penelitian terdiri dari remaja sebagai pendukung dan pengguna dari program tersebut. Pengumpulan data diperoleh langsung dari lokasi penelitian melalui diskusi kelompok terarah atau focus group discussion. Sebelum dilakukan diskusi kelompok terarah, dilakukan wawancara mendalam pada saru bidan senior, satu kader PKPR desa, dan dua remaja dari komunitas dan sekolah. Hasil dari wawancara mendalam merupakan dasar dalam triangulasi lewat diskusi kelompok terarah pada 15 remaja yang terbagi dalam dua kelompok diskusi.

Pengolahan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisa deskripsi yaitu content analysis. Pendekatan eksploratori digunakan untuk meneliti faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di Kecamatan Kasembon. Tempat lokasi adalah di wilayah kecamatan Kasembon kabupaten Malang. Subjek adalah 15 orang remaja putri yang berusia sekitar 15 – 19 tahun, berasal dari kecamatan Kasembon. Lewat dua kelompok dalam diskusi kelompok terarah yang dipandu oleh fasilitator dan diamati oleh seorang pengamat. Sebelumnya disiapkan  panduan diskusi yang disusun sebagai acuan pemandu diskusi kelompok terarah. Pertanyaan terbuka dengan mendasarkan pada informasi tentang : “Apa yang Anda ketahui tentang PKPR ?” ; “Apa keuntungan dan kerugian dari kamu mengikuti kegiatan PKPR ?” (keyakinan perilaku); “ Siapa yang menyetujui atau tidak menyetujui Anda bertanggung jawab atas keterlibatan dalam kegiatan ini ?” (keyakinan normatif) ; “ Silakan Anda mengidentifikasi setiap peristiwa yang mungkin mempengaruhi keputusan Anda untuk mengikuti atau tidak mengikuti kegiatan PKPR  ?”  (keyakinan kontrol); “ Apa yang menghambatmu terlibat dalam PKPR dan apa yang akan meningkatkan keterlibatan dalam program ini ?”  (keyakinan kontrol).

Pertanyaan tersebut digunakan dalam memandu diskusi , meskipun demikian diskusi dijaga untuk berlangsung dengan fleksibel dan memberikan respon yang jelas serta menggali topik yang relevan dan esensial berkaitan dengan tujuan identifikasi. Dalam perjalanan diskusi ternyata diperoleh informasi tambahan yang memperkaya temuan lapangan. Data lain yang digunakan adalah berasal dari data yang ada di puskesmas berupa informasi pendukung.

Analisis isi dilakukan dengan membuat kategori isi (content categories) yang diidentifikasi berdasarkan teks atau narasi dari masing-masing responden dan kemudian diberikan kode untuk masing-masing berdasarkan kata kunci, kata-kata yang sering muncul dan ide-ide sejalan dalam hal kesamaan refleksi bahasa dan perasaan dari masing-masing responden. Dan koding dilakukan berdasarkan behavioral beliefs (Ajzen, 2005) , untuk memahami apa yang tren muncul dalam diskusi dan tema apa yang penting. Kutipan umum tersebut dikelompokkan dalam kode-kode ini berlabel langsung dari bahasa lisan dari peserta dilihat dari frekuensi yang keluar selama diskusi dan dihitung. Kode tersebut kemudian disusun dalam urutan frekuensi kejadian dan bagian yang mendapatkan di atas 75% dari semua, itulah keyakinan yang ditunjukkan selama diskusi dari populasi target. Diskusi kelompok terarah dipersiapkan untuk memperoleh informasi secara umum tentang keyakinan yang menonjol remaja berkaitan dengan pelaksanaan PKPR.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil diskusi kelompok terarah diperoleh mengenai persepsi remaja tentang petugas puskesmas yang berseragam tidak selalu positif sehingga remaja kurang nyaman, kurang terbuka dan cenderung pasif pada saat penyuluhan. Remaja bisa lebih nyaman bercerita mengenai masalah yang dialami dengan sesama teman remaja mereka. Adanya kebutuhan kehadiran teman yang memiliki pengetahuan memadai tentang kesehatan reproduksi remaja sangat diperlukan. Fakta lain bahwa banyak remaja yang aktif dalam penggunaan media online, seperti lewat  facebook/twitter, akses pengetahuan dari web internet, sehingga pemanfaatan teknologi informasi untuk promosi Posyandu Remaja merupakan alternatif terbaik. Berdasarkan hasil diskusi kelompok terarah ini dapat disimpulkan urgensi pendayagunaan sesama remaja (peer counselor), sebagai strategi dalam merangkul sasaran remaja agar ikut berpartisipasi dalam Posyandu Remaja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa  remaja masih dikategorikan sebagai ‘pemerhati’, berarti remaja masih belum merasa mempunyai pengaruh dan keterlibatannya pasif dalam pelaksanaan langkah strategis PKPR. Dengan demikian, perlu adanya keterlibatan remaja dalam implementasi program PKPR mulai dari perencanaan hingga evaluasi program.

 

“…selama ini memang ada monitor program dari kabupaten, lebih bersifat diskusi saja dan tidak resmi. Masalah menulis kegiatan membuat sendiri dan laporann ya kita membuat sendiri tidak ada panduan baku …. ”   

 

“…untuk menilai perkembangannya masih belum kelihatan karena kita  masih memulai aktifnya tahun ini…”

 

(wawancara dengan kader )

Kita juga akan merencanakan beberapa kegiatan ketrampilan dan memanggil motivator untuk remaja, dan dijanjikan pnpm untuk tiap desa dapat LCD nanti agar penyuluhan dapat maksimal…”

 

“…agar kita tahu keinginan adik remaja, jadi butuh identifikasi dulu…. Kita perlu tanya ke mereka dari tiap desa di kecamatan kasembon…”

 

(wawancara mendalam  dengan bidan senior kecamatan)

 

Peserta diskusi menyatakan harapannya untuk dilaksanakan penyuluhan secara rutin dan merata di sekolah, media yang diharapkan adalah media audio visual dan media yang menarik remaja seperti komik, tayangan edukasi melalui TV. Selain itu juga menyatakan bahwa pelaksanaan konseling di sekolah menjadi tanggung jawab guru BK. Remaja  berharap adanya layanan kesehatan reproduksi remaja di komunitas dengan fasilitas dan kegiatan yang dibutuhkan oleh remaja seperti kegiatan-kegiatan yang disenangi remaja (musik), tempat berkumpul (dengan WIFI, ada warung) dan ada ruang baca dan buku bacaan.  Prosedur layanan yang diharapkan remaja adalah layanan yang sederhana, mudah dan kondisinya yang santai. Remaja komunitas mendukung jika ada layanan informasi kesehatan reproduksi, konseling, layanan kesehatan, dan adanya pelatihan pendidik sebaya. Ini dapat ditunjukkan dari hasil wawancara berikut :

 

“…perlu mbak, diadakan penyuluhan biar kita tahu bagaimana bahaya rokok, pergaulan bebas,obat terlarang, ngepil, ngombe, free seks…tidak hanya periksa kesehatan,…konseling perlu supaya ada teman bisa curhat ke orang  yang benar…..,  penting buat kita untuk meningkatkan pengetahuan dan bisa sharing sama yang lain…”

 

(wawancara mendalam dengan aktivis remaja di komunitas)

 

“Ya mbak, mbok gembar gembor nya yang keras supaya tau kalau di Puskesmas itu ada PKPR lho, saya taunya dari teman tapi sehari-hari saya belum pernah ditanya petugas puskesmas menyuruh ikut tapi pernah di sekolah kampanye napza”

 

Pertanyaan Peran Pendidik Sebaya :

 

 “…pendidik sebaya penting banget, supaya ada teman yang kasih tau ke teman-teman lain informasi yang benar… itupun kalo ada yang nanya…”

 

“…pernah tim Puskesmas ngasih acara datang untuk penyuluhan, tapi malah ga pernah kasih tahu apa ada PKPR…

 

”…PKPR…pernah dengar selentingan. Kita belum mendengar kampanye kegiatan ini…”

 

“…Puskesmas ya tempat untuk orang sakit. Saya biasanya ke Puskesmas periksa berobat”

 

“…kita pernah dapat penyuluhan dari puskesmas tapi sudah lama beberapa tahun yang lalu, dipesan ga aneh aneh pacaran dan ga boleh hamil di luar nikah, ga bebas dalam bergaul.  Tidak tau pasti kapan lagi ada,  bagus lah jadi tambah  pengetahuan…”

 

“…penyuluhan biasanya sih pake media slide mbak, usul kami sih bisa dalam bentuk komik, video cerita  yang mendidik….”

 

(wawancara mendalam dengan aktivis sekolah /OSIS SMP dan SMU)

 

Triangulasi dilakukan oleh peneliti melalui metode FGD dengan remaja sekolah dan remaja komunitas. Hasil FGD menunjukkan semua remaja baik di sekolah, komunitas membutuhkan layanan kesehatan peduli remaja mulai dari informasi kesehatan reproduksi, konseling, pendidik dan konselor sebaya, media kesehatan reproduksi hendaknya ada dan bersifat komunikatif, dan pemeriksaan kesehatan rutin dilakukan. Hal ini dikarenakan remaja telah menyadari dan mengetahui tingginya permasalahan remaja seperti yang ditunjukkan dari pernyataan berikut :

“.. ada kejadian temanku hamil pas kelas 2 SMU. Ceritanya katanya belum mens-mens, pacarannya aneh, hubungan gitu sama pacarnya, usaha nggugurin minum sprite sama nanas hijau, lonjak-lonjak, tapi tetap hamil. Sekarang ga sekolah padahal pinter, kabarnya sudah married…”

 

(FGD remaja dari komunitas)

 

“…keluarganya pecah, teman saya itu jadi jual diri mbak terpaksa, dia ngomongnya kelepasan pas crita ke saya…”

 

(FGD remaja SMU)

 

Berdasarkan hasil FGD diketahui bahwa 4 dari 15 peserta remaja mengetahui program PKPR.,  6 dari 15 remaja peserta FGD mengetahui Puskesmas sebagai layanan untuk berobat bagi orang sakit. Sebelumnya, kegiatan PKPR ini masih terpusat di Puskesmas dengan SDM yang juga dari Puskesmas. Kegiatan dilakukan dengan mendatangi sekolah-sekolah, memberikan penyuluhan, dan pengukuran antropometri. Strategi ini nampaknya mengalami hambatan seperti remaja tidak tertarik untuk datang ke Puskesmas, jadwal kunjungan tim PKPR yang bentrok dengan jadwal sekolah, pemahaman petugas yang masih kurang mengenai kepentingan kesehatan remaja sehingga program PKPR tidak dikerjakan maksimal. Petugas pendamping menurut remaja dirasa kurang peka dengan kebutuhan remaja. Dan kurang memahami program dengan baik. Karena ada beberapa yang kurang aktif mendampingi remaja. Akses remaja ke puskesmas terkendala dengan waktu belajar di sekolah dan setelah mereka pulang biasanya puskesmas sudah tutup. Sehingga kegiatan dilakukan di malam hari di kalangan rumah penduduk secara sukarela, dan kendala waktu malam dialami remaja karena merupakan waktu istirahat atau belajar.

Sasaran dengan karakteristik “unik” seperti remaja, membuat Posyandu remaja berbeda dengan posyandu ibu hamil atau balita pada umumnya. Persepsi remaja mengenai Puskesmas, dan petugas berseragam pegawai negeri sipil tidak selalu positif sehingga mereka cenderung tertutup atau pasif pada saat penyuluhan, atau sesi konsultasi. Dengan mendayagunakan sesama remaja (Peer educator), diharapkan remaja bisa lebih nyaman untuk bercerita mengenai masalah yang dialami.

Peer educator adalah anak remaja yang berasal dari komunitas maupun sekolah yang dilatih dengan materi tertentu sehingga mampu merujuk masalah kesehatan pada teman sebayanya. Ini merupakan strategi dalam merangkul sasaran remaja agar ikut berpartisipasi dalam Posyandu remaja. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi sebagai salah satu sarana dan cara untuk merangkul remaja, dinilai efektif untuk program ini.

Tahap pembaruan program kembali dalam implementasi Posyandu remaja ini tidak dapat  dilakukan hanya oleh petugas puskesmas saja, namun membutuhkan dukungan dari masyarakat setempat dan tentu saja remaja, tim Puskesmas , warga desa dan kepala desa. Peran kepala desa dalam hal ini sebagai manager di desanya, yang idealnya mengetahui segala potensi yang ada di desanya. Kepala desa diharapkan  tahu apa yang akan ia lakukan agar Posyandu remaja dapat berjalan di desanya dengan baik karena mempertimbangkan karakteristik warga (remaja) di wilayahnya. Setiap kelurahan memiliki masalah yang berbeda-beda dalam menghidupkan Posyandu remaja. Integrasi antar pihak, baik linier maupun horizontal, sangat penting.

Upaya-upaya perubahan yang dilakukan di masing-masing kelurahan dengan melihat karakteristik remaja dan menyesuaikannya agar Posyandu remaja tetap berjalan merupakan suatu bentuk keterbukaan terhadap lingkungan. Hal ini dapat terjadi jika manajer (dalam hal ini kepala desa) concern terhadap Posyandu remaja dan berusaha memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya untuk tetap dapat menjalankan program-program pemerintah yang bertujuan untuk memajukan masyarakat. Menurut remaja posyandu remaja dapat berjalan di desa masing-masing, ketika kader maupun pamong terlebih dahulu dapat memahami karakteristik warga (remaja) di  wilayahnya dengan baik. Media pembelajaran kesehatan reproduksi remaja yang belum tersedia menghambat program penyuluhan atau edukasi dalam hal ini.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil diskusi kelompok terarah yang dilakukan dalam identifikasi permasalahan implementasi edukasi program PKPR di kecamatan Kasembon, maka ada berbagai cara menurut remaja yang sebaiknya ditempuh Puskesmas Kasembon Malang bersama masyarakat, yaitu :

  1. Mengembangkan Posyandu remaja dan menghidupkannya hingga di setiap kelurahan
  2. Memanfaatkan teknologi informasi secara maksimal untuk promosi kesehatan reproduksi remaja melalui web, memanfaatkan konsultasi viafacebook maupun twitter untuk remaja.
  3. Mempersiapkan pelayananhotline khusus bagi remaja untuk mewadahi tempat “curhat”
  4. Membina remaja untuk menjadipeer educator atau tutor bagi remaja lainnya.

 

 

DAFTAR RUJUKAN

 

Ajzen, I. 1991. The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processess, 50. 179-211.

 

Conradson, D. 2005. Focus Groups. In, Flowerdew, R. and Martin, D. (eds.) Methods in Human Geography: a guide for students doing a research project. London : Pearson.

 

Morgan, D.L. 2002. Focus group interviewing. In J.F. Gubrium & J.A. Holstein (eds.), Handbook of Interviewing Research : Context & Method. Thousand Oaks, CA : Sage.

 

Stewart, D. et al. 2009. Manual restraint of adult psychiatric inpatients: a literature review Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing Volume 16, Issue 8, Pages 749-757

Stewart, D;  and  Shamdasani, P. 1990. Focus groups: Theory and Practice. Newbury Park: Sage Publications;