Setiap gen memiliki cerita: Bagaimana variasi genetik kita berkontribusi pada sifat kepribadian kita.
Kepribadian membentuk cara kita melihat dunia, berinteraksi dengan orang lain, dan merespons tantangan hidup. Dari sifat ekstrovert yang suka bersosialisasi hingga sifat introvert yang lebih merenung, lima dimensi kepribadian—neurotisisme, ekstroversi, kesepakatan, kehati-hatian, dan keterbukaan—telah lama dikenal sebagai faktor penting dalam perbedaan individu. Namun, apa yang menggerakkan sifat-sifat ini di tingkat genetik, dan bagaimana kaitannya dengan kesehatan mental? Sebuah studi terbaru yang diterbitkan di Nature Human Behaviour menggali pertanyaan-pertanyaan ini, menawarkan wawasan baru tentang arsitektur genetik kepribadian dan hubungannya dengan berbagai kondisi psikopatologi.
Studi ini dipimpin oleh para peneliti yang memanfaatkan data dari Million Veteran Program (MVP), yang merupakan salah satu studi asosiasi genome-wide (GWAS) terbesar yang pernah dilakukan untuk mempelajari sifat-sifat kepribadian. Program MVP, dengan database yang sangat besar dan beragam, menyediakan platform ideal untuk menyelidiki dasar genetik kepribadian pada individu keturunan Eropa dan Afrika. Temuan dari studi ini memiliki implikasi luas dalam memahami dasar biologis kepribadian dan hubungannya dengan gangguan kesehatan mental.
Mengungkap Cetak Biru Genetik Kepribadian
Lima dimensi kepribadian—neurotisisme, ekstroversi, kesepakatan, kehati-hatian, dan keterbukaan—dianggap sebagai kerangka kerja yang paling komprehensif untuk menggambarkan kepribadian manusia. Setiap dimensi mencerminkan aspek berbeda dari perilaku dan kognisi manusia. Namun, hingga saat ini, pemahaman kita tentang dasar genetik dari sifat-sifat ini masih terbatas, terutama untuk sifat selain neurotisisme.
Studi ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan melakukan GWAS pada masing-masing dari lima dimensi kepribadian. Para peneliti mengidentifikasi beberapa lokus signifikan pada genome yang terkait dengan sifat-sifat ini, dengan neurotisisme menjadi yang paling menonjol secara genetik. Studi ini menemukan 208 lokus independen yang terkait dengan neurotisisme, yang menyoroti kompleksitas arsitektur genetik yang mendasari sifat ini.
Menariknya, neurotisisme, yang sering dikaitkan dengan ketidakstabilan emosional dan kepekaan terhadap stres, juga ditemukan memiliki tumpang tindih genetik yang signifikan dengan berbagai kondisi psikopatologi. Studi ini mengungkapkan bahwa neurotisisme berbagi akar genetik dengan gangguan seperti depresi, kecemasan, dan skizofrenia, menunjukkan bahwa individu dengan tingkat neurotisisme yang tinggi mungkin memiliki risiko lebih besar untuk mengembangkan kondisi ini.
Interaksi Antara Kepribadian dan Kesehatan Mental
Salah satu aspek paling menarik dari studi ini adalah eksplorasi korelasi genetik antara sifat-sifat kepribadian dan gangguan kesehatan mental. Menggunakan analisis korelasi genetik fenom-lebar, para peneliti menemukan asosiasi baru yang memberikan wawasan tentang bagaimana sifat-sifat kepribadian memengaruhi, dan dipengaruhi oleh, kesehatan mental.
Misalnya, studi ini menemukan hubungan kausal dua arah yang kuat antara neurotisisme dan depresi serta kecemasan. Ini berarti bahwa neurotisisme yang tinggi tidak hanya meningkatkan risiko berkembangnya depresi dan kecemasan, tetapi juga bahwa kondisi ini dapat memperburuk sifat neurotis. Sebaliknya, kesepakatan, yang ditandai dengan sifat percaya dan empati, ditemukan memiliki efek protektif terhadap gangguan psikopatologi ini, dengan korelasi negatif terhadap depresi dan kecemasan.
Temuan-temuan ini menekankan pentingnya sifat-sifat kepribadian sebagai prediktor potensial hasil kesehatan mental. Mereka juga menggarisbawahi kompleksitas interaksi antara susunan genetik kita dan kesehatan mental, yang menunjukkan bahwa intervensi yang menargetkan sifat-sifat kepribadian dapat berperan dalam mencegah atau mengurangi gangguan kesehatan mental.
Lebih dari Sekadar Genetika: Peran Ekspresi Gen dan Protein
Studi ini tidak hanya berhenti pada identifikasi varian genetik yang terkait dengan sifat-sifat kepribadian. Para peneliti juga menyelami mekanisme molekuler yang mendasari asosiasi-asosiasi ini dengan melakukan analisis asosiasi transkriptom-lebar dan proteom-lebar. Analisis ini mengungkapkan perubahan ekspresi gen yang signifikan terkait dengan sifat-sifat kepribadian, memberikan wawasan tentang bagaimana gen mempengaruhi perilaku di tingkat molekuler.
Sebagai contoh, gen CRHR1, yang berperan dalam respons tubuh terhadap stres, memiliki asosiasi yang kuat dengan neurotisisme dan ekstroversi. Studi ini juga mengidentifikasi beberapa protein yang terkait dengan neurotisisme, termasuk yang terlibat dalam fungsi sinaptik dan plastisitas otak. Temuan ini membuka jalan baru untuk penelitian lebih lanjut tentang jalur biologis yang menghubungkan kepribadian dengan kesehatan mental.
Implikasi untuk Masa Depan
Temuan dari studi ini menandai langkah maju yang signifikan dalam pemahaman kita tentang dasar genetik kepribadian dan hubungannya dengan kesehatan mental. Dengan mengungkap arsitektur genetik dari lima dimensi kepribadian dan tumpang tindihnya dengan kondisi psikopatologi, studi ini memberikan landasan untuk penelitian di masa depan yang bertujuan mengembangkan intervensi yang dipersonalisasi untuk kesehatan mental.
Seiring dengan upaya untuk mengurai kompleksitas genom manusia, studi seperti ini akan berperan penting dalam menjembatani kesenjangan antara genetika dan psikologi.
Harapannya, suatu hari nanti, penelitian ini akan mengarah pada pengembangan pengobatan yang lebih efektif untuk gangguan kesehatan mental, yang disesuaikan dengan susunan genetik unik setiap individu.
Referensi: Gupta, P., Galimberti, M., Liu, Y. et al. A genome-wide investigation into the underlying genetic architecture of personality traits and overlap with psychopathology. Nat Hum Behav (2024). https://doi.org/10.1038/s41562-024-01951-3
Penulis: Kukuh SP