Tutut Chusniyah

Universitas Negeri Malang

tututchusniah@yahoo.com

Ardiningtiyas Pitaloka

ardiningtiyaspitaloka@yahoo.com

Universitas YARSI

 

 

Abstrak: Setelah reformasi tahun 1998, terjadi perubahan signifikan dalam sistem sosial politik di Indonesia, terutama dalam  kehidupan berdemokrasi. Salah satunya adalah pengakuan secara formal atas etnis Tionghoa. Namun konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama dan etnis juga banyak terjadi yang dapat mengancam multikulturalisme di Indonesia. Fenomena tersebut menunjukkan pentingnya peran identitas sosial dalam hipotesis multikulturalisme yang menyatakan adanya kepercayaan diri sebagai bagian in-group dan bersedia menerima out-group. Penelitian ini menguji model teoretik yang memprediksi dukungan terhadap multikulturalisme, yakni identitas etnis, agama dan nasional yang berfungsi sebagai variabel eksogenus. Lima ratus dua puluh partisipan berasal dari 27 identitas etnis (termasuk etnis campuran), lima identitas agama dan sembilan universitas dari tiga kota di Indonesia. Secara general, hasil penelitian mendukung model teoretik yang diajukan. Tetapi, pengujian antar variabel eksogen dan endogen menunjukkan bahwa hanya identitas agama yang mendukung hipótesis multikulturalisme. Identitas nasional hanya mendukung kepercayaan diri in-group, tetapi tidak terhadap penerimaan out-group. Sebaliknya identitas etnis mendukung penerimaan out-group namun tidak terhadap kepercayaan diri in-group. Secara teoretik, hasil ini menggugat teori identitas sosial yang menyatakan sikap positif in-group memunculkan sikap negatif terhadap out-group. Lebih lanjut, implikasi penelitian terhadap teori identitas sosial dan hipotesis multikulturalisme masuk dalam diskusi.

                                                                       

Kata kunci: identitas nasional, identitas etnis, identitas agama dan multikulturalisme

Pada masa pemerintahan Orde Baru (ORBA),  Jakarta menjadi pusat kekuasaan yang membuat semua keputusan, arah dan perintah. Sementara daerah yang tersebar di negara kepulauan ini berada di tingkat akhir dari piramida hirarki Soeharto sebagai penerima semua keputusan (Bertrand,2004). Beragamnya kultur dan identitas bukan lagi hal asing, namun  perbedaan merupakan isu sensitif terutama menyangkut etnis dan agama. Memasuki masa reformasi di tahun 1998 dan awal 1999, satu tahun setelah peristiwa jatuhnya rezim ORBA, terjadi perubahan yang cepat dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia yang turut memicu munculnya beberapa konflik berlatar identitas sosial. Kebangkrutan ekonomi, krisis moneter serta reformasi sosial dan politik yang terjadi pada masa itu dengan cepat diikuti dengan beberapa konflik yang tersebar di wilayah Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa konflik yang berlatar belakang etnis dan agama telah terjadi Aceh, Papua, Sampit, Maluku dan Poso. Mulai  Oktober 1998 hingga September 2001, konflik telah memakan korban hingga 18.910 jiwa (Malik, 2003). Isu lain yang mengemuka adalah  tumbuh suburnya gerakan kelompok fundamentalisme Islam yang disertai dengan maraknya terorisme dan kekerasan atas nama agama di Indonesia.

Hasil survei dan verifikasi terakhir di tahun 2010, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke (antaranews,2011). Indonesia juga terdiri dari lebih 491 etnis dan berbicara dalam 567 bahasa berbeda dan dialek (Ministry of Culture and Tourism Republic of Indonesia, Directorate General of Marketing, 2011).  Secara formal  Indonesia  telah mengakui adanya enam agama, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Kemajemukan dan multikulturalisme Indonesia tidak memungkinkan untuk dipaksakan adanya ‘satu’ identitas. Identitas tunggal yang dipaksakan rezim ORBA tanpa adanya ruang untuk munculnya identitas lokal atas dasar suku bangsa dan agama, menyebabkan begitu banyak konflik horisontal. Salah satunya adalah dengan perlakuan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, dengan diterbitkannaya Inpres No.14 tahun 1967 tentang pelarangan perayaan dan upacara keagaman Tionghoa yang dipertunjukkan di muka umum (Femina,2011).

Sementara, arus modernisasi dan globalisasi memberikan gambaran dan  komparasi tentang sistem, gaya hidup dari negara lain. Globalisasi memiliki dua sisi yakni mendorong masyarakat dari seluruh dunia untuk memiliki ‘satu identitas global’ dan ‘identitas lokal’ pada waktu yang sama (Moghaddam, 2008). Globalisasi juga mendorong interaksi multikulturalisme di Indonesia dan seluruh dunia. Isu multikulturalisme terkait erat dengan tema sentral psikologi sosial seperti identitas sosial, hubungan antar kelompok dan persepsi kelompok (Verkuyten & Brug, 2004). Dalam kehidupan multikulturalisme, interaksi antar identitas sosial tidak terelakkan. Pertanyaannya, apakah seperti dikemukakan oleh Tajfel dalam teori identitas sosial bahwa penilaian positif terhadap in-group akan memunculkan penilaian negatif terhadap out-group? Jika demikian, bagaimana interaksi multikulturalisme dalam satu negara, terutama Indonesia yang memiliki banyak keragaman.

Penelitian ini hendak mengkaji kontribusi identitas sosial terhadap kehidupan multikulturalisme di Indonesia, tiga identitas sosial utama yakni identitas nasional, etnis dan agama menjadi fokus penelitian, dengan mengajukan hipotesis akan pentingnya peran ketiga identitas sosial itu terhadap multikulturalisme.

 Teori Identitas Sosial dan Multikulturalisme

Teori identitas sosial yang dikemukakan oleh Tajfel dan Turner pada tahun 1979 merupakan salah satu teori psikologi yang sangat berpengaruh (Sears, Huddy & Jervis, 2003). Teori ini menyatakan bahwa individu mendefiniskan dirinya dalam konsep diri sosial (identitas sosial), dengan mengkategorisasikan diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari kelompok sosial. Keanggotaan individu dalam suatu kelompok akan mengarahkan individu pada level kelompok, yang mengatur anggotanya untuk menyetujui dan mematuhi norma kelompok (Marques, Abrams, Páez, Hogg, dalam Hogg & Tindale, 2001). Dalam konteks ini, kelompok mendefinisikan realitas sosial untuk mempermudah perkembangan identitas sosial dan mengembangkan perasaan yang kuat terhadap kelompok internal (Bar-Tal & Teichman, 2005).

Kelompok yang menjadi referensi bagi identitas individu merupakan tempat di mana komitmen individu terhadap kelompok menguat dan menjadi bagian dari identitas dirinya. Individu mengambil karakteristik kelompok dan menjadi bagian dari diri (Turner dalam Rogers, 2003). Kelompok referensi ini memberi anggotanya suatu lokus identifikasi, di mana seorang individu dapat beralih dari identitas personal ke identitas sosial dan disebut sebagai in-group. Keanggotaan kelompok mendorong kerjasama di dalam kelompok dan konflik terhadap kelompok lain (Rogers, 2003). Hal ini merupakan dampak dari identifikasi yang intensif  akan membentuk komitmen, integritas dan kohesifitas kelompok serta memunculkan perasaan positif tentang  in-group (in-group favoritism) dan memunculkan sikap merendahkan out-group (out-group derogation).

Sikap positif terhadap in-group dan sikap negatif terhadap out-group ini, akan menghasilkan identitas sosial yang memuaskan dan sebaliknya (Tajfel & Turner, 1979). Keanggotaan individu dalam kelompok yang berstatus lebih tinggi sangat diinginkan, karena menyebabkan identitas sosial dan identitas diri yang positif. Sebaliknya keanggotaan kelompok yang berstatus rendah tidak diinginkan, karena akan mempengaruhi konsep diri negatif anggota kelompok (Ellemer, 1993). Keberhasilan dan kegagalan suatu kelompok juga menjadi keberhasilan dan kegagalan anggotanya. Oleh karena itu, identitas sosial cenderung ditingkatkan dengan cara cara membandingkan in-group dengan out-group untuk membangun nilai positif yang membedakan dari kelompok lain, sehingga individu lebih kelompok sendiri atau kelompok sendiri lebih baik (Seul, 1999). Tema etnisitas sendiri telah mendapatkan perhatian khusus dalam psikologi politik karena banyaknya ledakan konflik etnis di berbagai negara. Selain teori identitas sosial,  konflik etnis dalam studi psikologi dijelaskan oleh teori konflik realistik oleh Sheriff  di mana terjadi kompetisi yang memunculkan isu kekuasaan, pengaruh, dan otonomi dalam sistem politik (Cottam, Uhler, Mastors, Preston, 2004).

Hipotesis identitas sosial tentang perasaan positif tentang  in-group dan sikap merendahkan out-group ini, dapat menjelaskan munculnya berbagai prasangka  dan  konflik di Indonesia baik yang berlatar identitas nasional, etnis maupun agama. Penelitian Tumanggor, Aripin dan Soeyoeti (2011) pada lima wilayah konflik Indonesia yakni Sambas (Kalimantan Barat), Sampit (Kalimantan Tengah), Poso (Sulawesi Tengah). Ambon (Maluku Selatan) dan Ternate (Maluku Utara) menunjukkan identitas etnis/agama sebagai penyebab konflik. Perbuatan atau sikap kelompok identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan kelompok etnis/agama (26,4%), penghinaan atas keyakinan/agama (19,4%) dan suku tertentu (16,5%). Faktor penyebab lain yakni penguasaan lapangan kerja (15,6%).

Konflik yang mengusung identitas nasional kerap terjadi antara Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia. Salah satu pemicunya adalah masalah perbatasan yang tidak hanya merepresentasikan teritori fisik namun juga interaksi masyarakat dan budaya yang terjadi. Setidaknya terdapat 18 titik konflik perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, yaitu di Pulau Sentut, Tokong Malang Baru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar,Tokong Boro, Semiun, Subi Kecil,Kepala,Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit, Berhala, Batu Mandi, Iyu Kecil, dan Karimun. Begitu pula di daratan yang terbentang sepanjang perbatasan Serawak dan Kalimantan Barat-Kalimantan Timur (Pranowo,2010).

Sementara konflik berlatar identitas etnis dan agama terjadi di beberapa wilayah Indonesia di antaranya Sambas dan Sampit di Kalimantan. Konflik antara etnis Dayak dan Madura ini menimbulkan ketegangan dan kekerasan massal. Begitu pula konflik di Ambon, Ternate, dan Poso (Tumanggor,2011; Manan dalam Panggabean & Angelina, 2008; Suparlan, 2003). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa identitas agama mendorong keterlibatan kelompok lasykar jihad dalam konflik berlatar agama di Ambon (Hasan, 2008), dan mendukung kekerasan suci pada kelompok fundamentalisme Islam (Chusniyah, 2006).

Sebagaimana yang disampaikan oleh Burris dan Jackson (2000), agama seperti juga gender, etnisitas dan nasionalitas merupakan suatu pembahasan utama dalam teori kategorisasi sosial dan menjadi bagian integral seorang individu. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan multikulturalisme di Indonesia, maka identitas nasional, etnis dan agama memainkan peran yang sangat penting. Ketiga identitas ini mengikat suatu masyarakat dan ‘mengeluarkan’ masyarakat lain sebagai landasan nasionalitas (Ichilov dalam Sears, dkk, 2003). Karena setiap individu merupakan anggota dari suatu bangsa dan mereka tinggal dalam satu negara. Sedangkan bangsa merupakan komunitas warga negara yang memiliki karakteristik umum yang akan membedakan mereka dari komunitas lainnya (Bertrand, 2004). Identitas nasional merupakan identifikasi psikologis individu atau masyarakat terhadap beberapa karakteristik yang signifikan dalam berbagi kehidupan bersama (De La Torre dalam Matera, Giannini, Blanco & Smith, 2005), yang menunjukkan keterkaitan mereka dengan konstitusional politik dan delegasi kekuasaan (dalam Hussain & Miller, 2006) dalam suatu negara. Sehingga identitas nasional ini dapat menjadi perekat berbagai identitas lokal yang ada dalam suatu negara, seperti gender, etnis, agama maupun lainnya. Seperti yang dikatakan secara khusus oleh David Miller bahwa tidak akan ada warga negara tanpa identitas nasional bersama (Hussain & Miller, 2006).

Dalam konteks penelitian tentang multikulturalisme, McCrone (dalam Hussain & Miller, 2006) mengeluhkan kurangnya isu yang mengaitkan antara identitas nasional dan etnis, padahal  etnisitas berada dalam kerangka multikulturalisme. Menurut Hussain dan Miller (2006), hubungan identitas nasional dan etnis dapat dilihat pada adanya dilema yang ditunjukkan oleh adanya kenyataan bahwa masyarakat di suatu negara dituntut untuk menunjukkan keberagaman dalam bangunan negara yang luas yaitu didorong untuk memiliki identitas etnis. Namun pada saat yang sama masyarakat didorong untuk menunjukkan kesatuan, koherensi dan identitas sebagai bagian dari suatu negara dan didorong untuk memiliki identitas nasional.

Istilah multikulturalisme sendiri seringkali digunakan dalam makna normatif, yang merujuk pada suatu ideologi dengan nilai positif keberagaman kultur yang melekat, mengingatkan adanya kesetaraan antar kelompok kultur serta menuntut negara untuk mendukung keberagaman itu dengan berbagai jalan (Miller dalam Banting & Kymlicka, 2006). Namun dalam penelitian ini, multikulturalisme digunakan secara deskriptif  yang merujuk pada keberagaman kultur dalam masyarakat, di mana ragam agama, etnis, atau kelompok ras merupakan identitas penting anggotanya. Multikulturalisme menekankan perbedaan kultur dan usaha menjaga keberagaman identitas kultur dalam satu kerangka politik yang sama (Fowers & Richardson, 1996).  Menurut Moghaddam (2008), secara teori hipotesis multikulturalisme memiliki dua subvariabel yakni memiliki rasa percaya diri dan bangga terhadap ingroup (in-group confidence) dan   menerima out-group yang berbeda (out-group acceptance).

Kanada merupakan salah satu negara yang pertama kali memberlakukan kebijakan tentang multikulturalisme untuk kepentingan publik. Pada tahun 1971, Perdana Mentri Pierre Trudeau mulai mengenalkan  secara resmi satu kebijakan tentang multikulturalisme. Pada tahun 1998, terdapat deklarasi yang menyatakan multikulturalisme merupakan karakter fundamental  sebagai warisan dan identitas Kanada yang memberikan sumber tak terhitung bagi pembentukan masa depan Kanada (Bauböck, 2001). Trudeau mengenalkan hipotesis multikulturalisme, di mana kesatuan suatu negara tidak bisa dibangun dengan landasan perasaan personal melainkan rasa percaya diri yang terkandung dalam identitas seseorang; sehingga dapat menumbuhkan penghargaan terhadap orang lain dan kesungguhan untuk berbagi ide, sikap dan asumsi.

Hipotesis multikulturalisme ini memunculkan tiga konsekuensi. Pertama, rasa percaya diri individu terhadap in-group yang akan mengarahkan dirinya menjadi orang yang terbuka dan menerima out-group. Kedua,  afiliasi kelompok yang memiliki identitas kuat terhadap in-group tidak perlu menunjukkan bias negatif untuk menandingi atau melawan out-group. Ketiga, hipotesis multikulturalisme ini mendorong minoritas dan mayoritas dalam multikulturalisme. Dampak yang diterima kelompok minoritas dan mayoritas tidak sama dalam masyarakat multikultur, karenanya, pemerintah perlu memberlakukan kebijakan yang berbeda terhadap kedua kelompok itu (Moghaddam, 2008).

Berdasarkan penjelasan teoretik di atas, maka masalah yang mengemuka adalah bahwa hipotesis teori identitas sosial memunculkan stereotipi dan konflik antar kelompok, sikap positif in-group dan mendorong sikap negatif terhadap outgroup. Berbeda dengan hipotesis teori identitas sosial, maka dalam hipotesis multikulturalisme rasa percaya diri in-group memunculkan penerimaan out-group yang justru akan mendorong perdamaian dan meminimalkan konflik antar kelompok. Secara teoretik identitas nasional, etnis dan agama berpengaruh terhadap multikulturalisme. Identitas nasional sebagai perekat identitas lokal akan berpengaruh terhadap penerimaan out-group (out-group acceptance), sedangkan identitas etnis dan agama cenderung berpengaruh terhadap rasa percaya diri in-group (in-group confidence).

Penelitian ini akan menguji secara empirik pengaruh identitas nasional, etnis dan agama terhadap multikulturalisme, untuk itu peneliti mengajukan hipotesis yang menguji model teoretik secara umum maupun beberapa hipotesis yang akan menguji secara empirik pengaruh dari masing-masing variabel identitas sosial terhadap setiap sub variabel multikulturalisme (yaitu out-group acceptance dan in-group confidence).

Berikut adalah dua model teoretik yang akan diujikan:

Bagan 1: model teoretik1: pengaruh identitas sosial terhadap multikulturalisme

Bagan 2: model teoretik 2: pengaruh identitas sosial terhadap in-group confidence dan out-group acceptance

 

Hipotesis model teoretik 1 adalah:

H1: Identitas nasional, identitas etnis dan identitas agama mempengaruhi multikulturalisme (in-group confidence dan out-group acceptance)

Hipotesis model teoretik 2 adalah:

H2: Identitas nasional, identitas etnis dan identitas agama mempengaruhi in-group confidence

H3: Identitas nasional, identitas etnis dan identitas agama mempengaruhi out-group acceptance

 

Metode

Sampel

Sampel adalah mahasiswa S1 semester 4 ke atas dengan asumsi telah menjalin interaksi multikulturalisme di lingkungan universtas. Universitas merupakan miniature kehidupan multikulturalisme di Indonesia, di mana mahasiswa berasal dari beragam latar belakang social ekonomi, identitas etnis dan agama. Hal ini karena universitas di Indonesia sebagian besar berlokasi di kota besar. Partisipan berasal dari Universitas Indonesia (Depok, Jawa Barat), Universitas Gunadarma (Depok, Jawa Barat), Universitas Pancasila (Jakarta), Universitas Tarumanegara (Jakarta), Universitas Al-Azhar Indonesia (Jakarta), Universitas Widya Mandala (Surabaya, Jawa Timur), Universitas Negeri Malang (Malang, Jawa Timur), Universitas Islam Negeri Malang (Malang, Jawa Timur), dan Komunitas Mahasiswa Hindu-Bali  di Malang (Malang, Jawa Timur). Jumlah sampel yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 520 orang, dengan komposisi 50% Jakarta, 20% Surabaya dan 30% Malang. Partisipan terdiri dari 27 etnis termasuk yang etnis campuran (ayah dan ibu berbeda etnis) dan enam agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Cu) namun dalam penelitian (pengolahan data) ini Katolik dan Protestan masuk dalam kategori Nasrani. Secara garis besar, etnis partisipan terdiri dari Melayu, Batak, Sunda, Betawi, Tionghoa, Jawa, Madura, Bali, Bugis, Sasak, dan etnis-etnis lain di Indonesia.

Pengukuran

Seluruh skala disusun menggunakan skala Likert 1- 4 dan berdasarkan tiap definisi yang kemudian dibentuk ke dalam definisi operasional di bawah ini. Seluruh instrumen penelitian telah diujicobakan pada 50 mahasiswa di Universitas Gunadarma (Depok, Jawa Barat) sebelum dikenakan  pada partisipan dengan reabilitas tinggi (α = 0,887 – 0,889).  Reliabilitas tinggi juga didapat pada instrumen yang dikenakan pada 520 partisipan (α = 0,724 – 0,856).   Definisi operasional:

  1. Variabel endogenus:

Multikulturalisme: perasaan percaya diri, bangga dan aman terhadap kondisi in-group (selanjutnya disebut sebagai in-group confidence dengan realibilitas Cronbach alfa sebesar 0,757) dan menerima kelompok lain yang berbeda (disebut dengan out-group acceptance dengan realibilitas Cronbach alfa sebesar 0,855). Variabel ini diukur dengan skala multikultur yang terdiri dari dua sub skala yakni skala in-group confidence, contoh skala: “Saya seorang warga yang kooperatif bagi Indonesia yang lebih baik” dan skala out-group acceptance, contoh skala: “Saya tidak keberatan satu kamar kos dengan orang berbeda etnis dan agama”.

  1. Variabel eksogenus

– Identitas nasional: identifikasi individu yang melibatkan kelekatan afektif dan kognitif antara individu dan bangsa-negara, membawa favoritisme kelompok dan self-esteem positif. Variabel ini diukur dengan skala identitas nasional, yang dikembangkan oleh Waldemar (1999) dan sejalan dengan teori identitas sosial (Tajfel & Turner, 1986). contoh skala: “Saya percaya, identitas Indonesia berdampak positif bagi multikulturalisme di Indonesia”. Realibilitas dengan Cronbach alfa sebesar 0,716

Identitas etnis: identifikasi individu yang melibatkan  kelekatan afektif dan kognitif antara individu dan kelompok etnisnya, membawa favoritisme kelompok dan self-esteem positif. Variabel ini diukur dengan skala identitas etnis, yang dikembangkan dan diadaptasi dari skala identitas nasional Waldemar (1999).  contoh skala: “Saya senang menjadi bagian dari kelompok etnis saya”. Realibilitas dengan Cronbach alfa sebesar 0,777

Identitas agama: identifikasi individu yang melibatkan  kelekatan afektif dan kognitif antara individu dan agamanya, membawa favoritisme kelompok dan self-esteem positif. Variabel ini diukur dengan skala identitas agama, yang dikembangkan dan diadaptasi dari skala identitas nasional Waldemar (1999).  contoh skala: “Saya merasa kurang memiliki agama saya”. Realibilitas dengan Cronbach alfa sebesar 0,778

Analisis data

Untuk menguji model teori yang diajukan dalam hipotesis, penelitian menggunakan structural equation model (SEM). Untuk mengetahui kontribusi variable eksogenus dan endogenus, peneliti juga melakukan pengujian koefisien regresi menggunakan prosedur SEM. Software statistik yang  digunakan adalah AMOS 17.0 (Byrne, 2001).

 

Hasil Penelitian

Hasil pengujian model dengan AMOS 17.0 menunjukkan kesesuaian antara data dengan model teoretik yang diajukan dengan indeks goodness of fit ( df =0,534, RMSEA = 0,000, chi-Square = 75,299, p-value= 0,534, GFI = 0,982, CFI = 1,000). Artinya, bahwa pola interaksi antara variable eksogenus dan endogenus yang ditampilkan mendukung H1 .  Diagram pola dengan standardized regression coefficient  (gamma) seperti di Bagan 2:

Bagan 3. Interaksi variable prediktor dan variabel hasil

Keterangan: F1: identitas nasional; F2: identitas etnis;F3: identitas agama;F4: multikulturalisme

 

Tabel 1. T-value of good fit model of structural model

Variabel Eksogenus Variabel Endogenus T- Value
Identitas Nasional Multikulturalisme 0,110
Identitas Etnis -0,03
Identitas Agama 3,44*

*=T-value significan pada  ±1,96

 

 

Secara mengejutkan, pada pengujian antara variable eksogenus dan endogenus model teoretik 1 (tabel 1 dan bagan 3) menunjukkan bahwa identitas agama  menjadi      satu-satunya    prediktor   yang    signifikan    bagi     multikulturalisme   di Indonesia (t-value=3,44>±1,96). Sementara identitas nasional (0;110<±1,96) dan identitas etnis (-0,03<±1,96) tidak signifikan sehingga tidak menjawab hipotesis H2 dan H3 yang diajukan dalam penelitian.

Pada pengujian model teoretik 2, dengan AMOS 17.0 juga menunjukkan kesesuaian antara data dengan model teoretik 2 yang diajukan dengan indeks goodness of fit ( df =123, RMSEA = 0,15, chi-Square = 1,114, p-value= 0,182, GFI = 0,972, CFI = 0,995). Dengan demikian, hasil pengujian ini menolak hipotesis H2 dan H3:

Keterangan:

F1: identitas nasional; F2: identitas etnis; F3: identitas agama; F4:out-group acceptance; F5: in-group confidence

 

Tabel 2. Hubungan variable eksogenus dengan endogenus

Variabel Eksogenus Variabel Endogenus T- Value
Identitas Nasional Out-group acceptance -0,062
Identitas Etnis  0,442*
Identitas Agama  0,206*
Identitas Nasional In-group confidence

 

 

 0,410*
Identitas Etnis  0,177
Identitas Agama  0,253*

* = T-value significan pada > 1,96

 

Sementara, pengujian antara variable eksogenus dan endogenus model teoretik 2 (tabel 2) menunjukkan bahwa identitas nasional tidak signifikan sebagai prediktor variabel out-group acceptance (-0,062<±1,96), namun signifikan untuk in-group confidence (0,410<±1,96). Sementara, identitas etnis berlaku sebaliknya, yakni tidak signifikan sebagai prediktor in-group confidence (H9 pada 0,177<±1,96), tetapi signifikan sebagai prediktor out-group acceptance ( 0,442<±1,96). Hanya satu identitas yang konsisten menjadi prediktor multukulturalisme baik ketika diujikan secara umum, maupun ketika diujikan secara terperinci terhadap dua sub variable multikulturalisme (out-group acceptance dan in-group confidence) yakni identitas agama. Identitas agama signifikan sebagai prediktor out-group acceptance (0,206<±1,96) maupun in-group confidence (0,253<±1,96).

 

Pembahasan

Pengujian dua model teoretik pada penelitian ini menunjukkan hasil yang menarik terutama pada pengujian antara tiap identitas sosial dengan multikulturalisme (model teoretik 1) dan dengan variable laten dalam multikultur yakni in-group confidence dan out-group acceptance (model teoretik 2). Pada metode teoretik 1, seperti yang telah telah diprediksikan, penelitian menunjukkan adanya pengaruh signifikan identitas sosial terhadap multikulturalisme dalam menghadapi globalisasi di Indonesia. Namun, dalam model teoretik 2, penelitian menunjukkan adanya perbedaan pengaruh identitas sosial terhadap in-group confidence dan out-group acceptance. Hanya identitas agama yang secara konsisten menunjukkan pengaruh terhadap in-group confidence dan out-group acceptance.

Hasil penelitian ini menggugat teori identitas sosial yang digagas Tajfel dkk (1979),  bahwa adanya penilaian positif in-group akan memunculkan penilaian negative terhadap out-group. Namun, jika mengamati konstruk antara teori identitas social dan hipotesis multikulturalisme, terdapat perbedaan  pada penilaian terhadap in-group. Pada teori identitas social, penilaian positif ini berupa favoritisme in-group (in-group favoritism)  yang bermakna adanya penilaian positif secara berlebihan. Hal ini memungkinkan munculnya sikap merendahkan out-group (out-group derogation). Akan tetapi pada hipotesis multikulturalisme (Moghaddam, 2008), penilaian positif berupa rasa percaya diri, bangga dan merasa aman terhadap in-group tidak menunjukkan makna berlebihan seperti pada favoritisme.  Maka, penilaian positif terhadap in-group di sini justru mengarah pada penerimaan terhadap out-group (out-group acceptance).

Identitas nasional dan etnis hanya signifikan pada sebagian variabel penyusun multikulturalisme dan tidak signifikan ketika dalam pengujian multikulturalisme secara menyeluruh. Dalam penelitian ini, identitas nasional menunjukkan dukungan atau dapat memprediksi adanya rasa percaya diri terhadap in-group. Hasil ini mengandung pesan bahwa di era globalisasi yang menyajikan beragam pilihan identitas social tanpa batas negara ternyata responden masih bangga terhadap identitas nasional yaitu Indonesia. Hal ini memberikan harapan bagi interaksi positif antar masyarakat Indonesia yang memiliki beragam identitas etnis dan agama. Padahal dalam era globalisasi menimbulkan polemic dan kontroversi dalam banyak aspek kehidupan social (Baugnet & Fouquet, 2008), seperti rasa kecewa atas meningkatnya ‘Amerikanisasi’ (Kumar, 2008).

Yang juga menarik, identitas etnis berlaku sebaliknya, mendukung dan dapat memprediksi penerimaan out-group. Dalam konteks multicultural di dalam negara Indonesia, hasil ini menunjukkan interaksi positif atau pembauran antar berbagai identitas etnis. Hal ini sejalan dengan contact hypothesis yang menyatakan bahwa kondisi ekual dapat menurunkan prasangka sehingga tercipta interaksi positif (Allport, 1954 dalam Green dan Wong, 2009). Responden dari berbagai identitas etnis berada dalam kondisi yang relatif ekual sebagai mahasiswa di kampus. Dalam interaksi ini, mereka dapat menampilkan identitas etnis secara nyaman dan pada saat yang sama menerima identitas etnis lain. Pembauran ini juga terjadi di luar lingkungan pendidikan, seperti di lingkungan kerja, politik dan sosial lainnya. Bahasa nasional yakni bahasa Indonesia berperan penting dalam interaksi antar etnis. Esses dan Gardner (1996) menyatakan sebagian besar masyarakat Kanada lebih memiliki identifikasi kuat sebagai orang Kanada daripada identitias etnisnya. Hal ini ditunjukkan oleh survei nasional di tahun 1991, namun identitas etnis di sini mencakup identitas etnis simbolik, dan  tidak menegaskan perilaku identitas etnisnya.

Hasil yang mengejutkan ditunjukkan oleh identitas agama, yang ternyata menjadi satu-satunya variable eksogen  identitas social yang signifikan sebagai predictor variable endogen hipotesis multikulturalisme. Pada pengujian antar variable eksogen dan endogen pun, identitas agama mendukung positif out-group acceptance maupun in-group confidence.  Padahal, dalam penelitian Thomas (2008) menunjukkan tidak adanya pengaruh atau dukungan dari identitas agama maupun etnis terhadap gagasan multikulturalisme. Dalam pengujiannya, hanya identitas nasional yang mendukung gagasan multikulturalisme yang mengandung tiga komponen yakni terkait dengan kebudayaan, konsep yang merujuk pada pluralitas kebudayaan dan cara tertentu untuk merespons pluralistas (Parekh, dalam Thomas, 2008). Meskipun terdapat perbedaan definisi operasional dalam multikulturalisme yang diujikan antara penelitian Thomas dan penelitian ini, hasil ini semakin menunjukkan pentingnya penelitian peran ketiga identitas sosial terhadap interaksi multikultural di Indonesia.

Dalam penelitian ini dibuktikan bahwa identitas agama tidak saja memberikan rasa percaya diri pada individu, bahkan identitas agama menjadi dasar penerimaan out-group. Hasil penelitian ini juga  sejalan dengan penelitian Kashima, Beatson, Chusniyah dan Ampuni (in preparation), bahwa bagi orang Indonesia dibandingkan dengan orang Australia, agama merupakan hal yang sangat sentral dalam hidupnya. Karena identitas sosial berdasarkan agama  memenuhi kebutuhan psikologis yang lebih komprehensif dan potensial, dibandingkan dengan identitas sosial yang lain. Agama mendukung kebutuhan psikologis individu sehingga dunia mudah diprediksi serta menimbulkan rasa kepemilikan, harga diri dan aktualisasi diri (Seul, 1999).

Sedangkan fenomena kelompok muslim Indonesia yang tidak toleran, mendukung kekerasan, terorisme dan kontraproduktif bagi kehidupan multikulturalisme, merupakan  kelompok muslim yang memaknai kitab suci secara intratekstual, memiliki karakteristik dogmatik, berfikiran tertutup, otoritarian (RWA/right wing authoritarianism), memiliki ideologi jihad perang dan persepsi diperlakukan tidak adil serta mendukung penegakan syariah (Chusniyah, 2010; Muluk, Sumaktoyo dan Ruth, 2010; Muluk dan Sumaktoyo, 2010; Pitaloka dan Markum, 2005). Argumentasi ini sejalan dengan yang telah dijelaskan oleh Efendi (1998), bahwa  dalam konteks politik di Indonesia, sebagian masyarakat muslim yang menginginkan dijalankannya negara berdasarkan agama, sedangkan masyarakat mainstraim muslim menerima bentuk negara bangsa dan mendorong demokrasi. Pendapat ini diperkuat oleh Mujani (2003), bahwa Islam membantu masyarakat muslim untuk aktif dalam politik dan muslim agamis berkontribusi memperkuat demokrasi. Bahkan Madrid (2001), menyatakan bahwa organisasi dan gerakan fundamentalis Islam di Indonesia sesuai dengan demokrasi.

Secara umum, penelitian ini melihat adanya sinyal positif dari antusiasme umat beragama di Indonesia untuk terlibat dalam multikulturalisme dan globalisasi. Hal ini semakin membuktikan signifikansi isu agama di era sekarang sekaligus menegaskan pentingnya identitas agama di Indonesia. Responden dalam penelitian ini menunjukkan semangat tinggi untuk menunjukkan keramahan dalam beragama, terutama umat Islam. Sinyal ini kemungkinan untuk menjawab sorotan dunia tentang opini negatif sebagai akibat beberapa insiden kekerasan atas nama agama Islam. Pada kenyataannya, kehidupan beragama masyarakat Indonesia telah hidup beriringan selama berabad-abad. Hindu, Budha, Islam, Nasrani dan Kong Hu Cu telah menjadi agama yang diakui secara undang-undang.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memiliki saran untuk penelitian lanjut. Pertama, hendaknya penelitian lanjut difokuskan terhadap pemahaman, definisi dan instrumen multikulturalisme, terutama untuk negara Asia dengan beragam kultur seperti Indonesia. Hal ini mengingat definisi multikultur yang berasal dari fenomena di negara non Asia seperti Kanada, Perancis dan Australia. Akan sangat menarik jika membandingkan diskursus dan definisi antara negara multikulturalisme dan negara monokulturalisme (seperti Jepang dan Korea). Analisis faktor juga dapat digunakan dalam menyusun alat ukur multikulturalisme dengan konteks keragaman etnis  seperti Indonesia. Kedua, penelitian hendaknya mencoba menggali lebih jauh keterkaitan antara identitas agama dalam konteks negara multikulturalisme dan monokulturalisme. Ketiga adalah keterkaitan antara multikulturalisme dan kekerasan atas nama identitas agama di negara multikulturalisme maupun monokulturalisme. Hal ini untuk meluaskan peran psikologi sosial khususnya psikologi politik di Indonesia dalam memberikan pemahaman atas konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama tertentu.

 

Kesimpulan

Seperti yang telah telah diprediksikan, identitas sosial berperan dalam multikulturalisme di Indonesia. Secara mengejutkan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa identitas agama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap multikulturalisme, mempengaruhi rasa percaya diri in-group (in-group confidence) dan mengarahkan pada penerimaan out-group (out-group acceptance).  Dengan demikian, mendukung premis utama hipotesis multikulturalisme (Moghaddam, 2008) dan menggugat teori identitas sosial yang digagas Tajfel dkk (1979),  bahwa penilaian positif terhadap in-group memunculkan penilaian negatif terhagap out-group. Hal ini kemungkinan karena penilaian positif berlebihan pada favoritisme in-group (in-group favoritism) hingga berpotensi memunculkan sikap merendahkan out-group (out-group derogation). Berbeda dengan prediksi sebelumnya, identitas nasional hanya memprediksi rasa percaya diri in-group, sedangkan identitas etnis hanya memprediksikan penerimaan out-group. Hasil yang ditunjukkan oleh identitas etnis dan nasional ini menunjukkan adanya penilaian positif terhadap identitas nasional Indonesia dan keterbukaan menerima etnis lain. Sementara identitas agama secara signifikan memprediksi hipotesis multikultural juga dalam pengujian secara terpisah terhadap rasa percaya diri in-group dan penerimaan out-group. Hasil penelitian ini semakin membuktikan signifikansi isu agama sekaligus menegaskan pentingnya identitas agama di Indonesia, hasil ini menjawab sorotan dunia tentang opini negatif sebagai akibat beberapa insiden kekerasan atas nama agama tertentu seperti Islam. Pada kenyataannya, kehidupan beragama masyarakat Indonesia telah hidup beriringan selama berabad-abad secara damai.

 

*Penelitian ini telah dipresentasikan dalam 8th Association of Asian Social Psychology, New Delhi, India, December 2009.

 Referensi:

 Bar-Tal, D. & Teichman, Y. (2005). Stereotypes and prejudice in conflict: Representations of Arab in Israel Jewis society. New York: Cambidge University Press.

Bauböck, R. (2001) International migration and liberal democracies: the challenge of integration. Research Unit for Institutional Change and European Integration, Austrian Academy of Sciences, Vienna.Online Publication Date: 01 October 2001.

Baugnet,L.,Fouquet,A. (2008) Being worried and threaten doesn’t lead to action, to be interested does… . 9th International Conference on Social Representations, Bali,Indonesia,30 Juni-5 Juli 2008

Bertrand, Jacques (20040. Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Burris, Christopher T. & Jackson, Lynne M. (2000) Social identity and the true believer: responses to threatened self-stereotypes among the intrinsically religious. British Journal of Social Psychology (2000), 39, 257±278.

Borgida, E.; Federico, C. M. & Sullivan, J. (2009) The political psychology of democratic citizenship: series in political psychology. New York; Oxford University Press.

Byrne, Barbara M. (2001) Structural Equation Modeling with AMOS: Basic Concept, Applications, and Programming. New Jersey; Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Chusniyah, Tutut (2010). Ideological Rigidity and the Psychological Needs of Abu Bakar Ba’asyir: A Case Study. International Conference of the International Society for Justice Research (ISJR) 13th Biennial Conference, BANFF 2010 di Banff, Alberta, Canada pada tanggal 21-24 Agustus 2010.

Chusniyah, Tutut (2006). Ideologi, mortality salience dan kekerasan suci: Analisis model struktural. Insan: Media psikologi. Vol. 8, No. 2.

Cottam, M., Uhler, B.D.,Mastors,E.,Preston,T. (2004) Introduction to political psychology. New Jersey; Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Ellemers, N., Wilke, H., & van Knippenberg, A. (1993). Effects of the legitimacy of low group or individual status on individual and collective status-enhancement strategies. Journal of Personality and Social Psychology, 64, 766-778.

Esses,V.M. & Gardner,R.C. (1996) Multiculturalism in Canada: context and current status. Canadian Journal of Behavioural Science,1996,28:3,145-152

Green, Donald P. & Wong, Janelle S.(2009). Tolerance and the contact hypothesis: A field experiment. Dalam The political psychology of democratic citizenship. Edited by Borgida, E.; Federico, C. M. & Sullivan, J. (2009) New York; Oxford University Press.

Hasan, Noorhaidi. (2008). Lasykar Jihad: Islam, militansi dan pencarian Identitas di Indonesia paska Orde Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia & KITLV-Jakarta.

Hogg, Michael A. & Tindale, R.Scott (2001) Blackwell handbook of social psychology: group processes. Massachusetts: Blackwell Publishers

Hussain, Asifa & Miller,William (2006) Multicultural nationalism: Islamophobia, Anglophobia, and devolution. New York: Oxford University Press.

Huddy, Leonie (2003) Group identity and political cohesion. In In Sears, David O., Huddy,Leonie., Jervis,Robert  (Ed) (2003). Oxford handbook of political psychology. New York: Oxford University Press.

Ichilov, Orit (2003) Education and democratic citizenship in a changing world. In Sears, David O., Huddy,Leonie., Jervis,Robert  (Ed) (2003). Oxford handbook of political psychology. New York: Oxford University Press.

Judd, Charles M. & Park, Bernadette (2009). Diverging Ideological viewpoint on pathways to more harmonious intergroup relations. Dalam The political psychology of democratic citizenship. Edited by Borgida, E.; Federico, C. M. & Sullivan, J. (2009) New York; Oxford University Press.

Kashima, ES.; Beatson, R.;  Chusniyah, T. and AMPUNI, S. (in preparation). Defending Religious Worldviews after Threats in Australia and Indonesia.

Knight, Kirsty (2008) What is multiculturalism? Griffith Working Papers in Pragmatics and Intercultural Communication 1, 2 (2008), 106-118.

Kumar,Anand (2008) Representing the meaning of globalization in the public sphere India. 9th International Conference on Social Representations, Bali,Indonesia,30 Juni-5 Juli 2008

Matera, Camila; Giannini, Marco; Blanco, Amalio & Smith, Peter B. (2005) Auto-stereotyping and national identity in the Spanish context. Revista Interamericana de Psicología/Interamerican Journal of Psychology – 2005, Vol. 39, Num. 1 pp. 83-92.

Madrid, R. (2001). Fundamentalists and democracy: The politic culture of Indonesian Islamist students. Dissertation. UMI. American University.

Malik, Ichsan (2003) Bakubae: the community based movement for reconciliation process in Maluku. Jakarta: Bakubae Maluku, Tifa Foundation and Yayasan Kemala.

Miller, David (2006) Multiculturalism and the welfare state: theoretical reflections. In Banting, Keith & Kymlicka, Will (ed) (2006). Multiculturalism and the welfare state: recognition and redistribution in contemporary democracies. New York: Oxford University Press.

Moghaddam, Fathali M. (2008) Multiculturalism and intergroup relations: psychological implications for democracy in global content. Washington: American Psychological Association.

Mujani, Saiful (2003). Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post Suharto Indonesia. A Dissertation submitted in partial fulfillment of requirement for the degree of doctor of philosophy in political science at the Ohio State University.

Muluk, Hamdi; Sumaktoyo, Nathanael dan Ruth, Dyah (2010). Jihad as justification: National-survey evidence of belief in violent jihad as mediating faktor for sacred  violence among muslim in Indonesia. Presented in International Conference of the International Society for Justice Research (ISJR) 13th Biennial Conference, BANFF 2010 di Banff, Alberta, Canada pada tanggal 21-24 Agustus 2010.

Muluk, Hamdi & Sumaktoyo, Nathanael (2010). Intratextual fundamentalism and the desire for simple cognitive structure: The moderating effect of the ability ti achieve cognitive structure. Archive for the psychology of religion, 32, 217-238.

Panggabean, Hana & Angelina, Maesy (2008). Gambaran tantangan keragaman antar budaya dan strategi pemecahannya pada relawan kemanusiaan di Propinsi Aceh Darussalam. Jurnal Psikologi Indonesia. No.1, 31-48.

Pitaloka, Ardiningtiyas & Markum, Enoch. (2005) “Patriotisme Buta dan Patriotisme Konstruktif.” Jurnal Psikologi Sosial Universitas Indonesia, Januari 2005, Vol. 11 No. 02. ISSN : 0853-3997.

Rogers,Wendy Stainton (2003) Social psychology: experimental and critical approaches. Philadelphia: Open University Press.

Suparlan, Parsudi (2003). Bhineka tunggal ika; Keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan? Indonesian journal of social and cultural anthropogy. XXVII, No. 72, 25-37.

Thomas, Satriyanto (2008) Pengaruh Representasi Sosial tentang Bhinneka Tunggal Ika dan Identitas Sosial Terhadap Dukungan Gagasan Multikulturalisme. Depok; Tesis Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

Tumanggor, R.,Aripin,J.,Soeyoeti,I.(2011) Dinamika konflik etnis dan agama di lima wilayah konflik Indonesia. http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/PDF/rusmin.pdf. Diunduh 2011.

Unger, R. K. (2007). Religious ideology a neglected variable. American Psychologist, 1076-1077.

Verkuyten, Maykel & Brug,Peary (2004) Multiculturalism and group status: The role of ethnic identification, group essentialism and protestant ethic. European Journal of Social Psychology Eur. J. Soc. Psychol. 34, 647–661 (2004).

Waldemar, Lilli (1999) Measuring National Identity. Arbeitspapiere – Mannheimer Zentrum für Europäische Sozialforschung; 10. ISSN 1437-8574.

Pranowo, Bambang M (2010) Solusi Budaya Mengatasi Konflik Indonesia-Malaysia. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/1642-solusi-budaya-mengatasi-konflik-indonesia-malaysia.html. Rabu, 15 September 2010 12:15,Diunduh tahun 2011.

ANTARA News (2011) Hasil Survey Terbaru Jumlah Pulau Indonesia. Selasa, 17 Agustus 2010 18:05 WIB | 5176 Views http://www.antaranews.com/berita/1282043158/hasil-survei-terbaru-jumlah-pulau-indonesia.

Ministry of Culture and Tourism Republic of Indonesia, Directorate General of Marketing (2011). COUNTRY FACTS http://www.visit-indonesia.com.au/pages/about/countryfacts.php

Femina (2011) Agar Pembauran Tak Sekedar Slogan. http://www.femina.co.id/issue/issue_detail.asp?id=47&cid=2&views=57

Baker, David S. & Carson, Kerry D. (2011). Two Faces of uncertainty avoidance. Journal of Applied Psychology, 84(1), 50-57.

PA Shuper  (2004). Journal of Personality and Social Psychology, 65, 102-112.

Quintal, Vanessa, Lee, Yulie & Soutar Geoff (2006). Journal of. Personality and Social Psychology 45, 20-31.