Fattah Hanurawan

Jurusan Psikologi Universitas Negeri Malang; email: fhanurawan@yahoo.com

(Makalah seminar dalam Seminar Nasional Pendekatan Integratif Pendidikan Seksual dalam Menyiapkan Generasi Emas Indonesia (Proceedings) di Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang 2 November 2014)

Abstrak: Perilaku kekerasan seksual semakin banyak terjadi dalam berbagai bentuk di Indonesia, seperti pelecehan seksual verbal, sodomi anak, dan pemerkosaan. Berdasar perspektif psikologi sosial, perilaku kekerasan seksual dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap tentang prevensi yang dapat dilakukan secara psikologi sosial untuk melakukan prevensi terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan seksual. Metode dalam penelitian ini melalui pendekatan kualitatif dengan penelitian kepustakaan. Sumber data dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kepustakaan psikologi sosial dan psikologi komunitas (buku-buku dan jurnal-jurnal) yang berhubungan dengan prevensi perilaku kekerasan seksual. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Metode validasi adalah melalui triangulasi. Hasil penelitian ini adalah: prevensi dapat dilakukan pada level individual (laki-laki, perempuan, dan gabungan laki-laki-perempuan) dan pada level komunitas.

Kata-kata kunci: psikologi sosial, prevensi, perilaku kekerasan seksual.

 

 

 

PENDAHULUAN

Perilaku kekerasan seksual dengan berbagai bentuknya semakin marak terjadi, baik pada tingkat domestik, lokal, nasional, regional, maupun dunia. Kekerasam seksual merupakan problem perilaku dan problem sosial yang memiliki dampak merugikan bagi korban, keluarga, teman dan komunitas. Tujuan prevensi terhadap kekerasan seksual adalah menghentikan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan seksual sesegera mungkin.

Contoh-contoh perilaku kekerasan seksual yang prevalensinya semakin meningkat antara lain adalah: pemerkosaan laki-laki pada perempuan, sodomi, pelecehan seksual secara verbal untuk berbagai tingkat perkembangan usia (anak, remaja, dewasa, dan manula). Perilaku kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan terhadap perempuan, adalah masalah yang serius dalam suatu komunitas (Campbell & Wasco, 2005). Agar perilaku kekerasan seksual dapat direduksi atau dikurangi maka prevensi psikologi sosial terkait dengan kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan seksual dalam suatu komunitas menjadi diperlukan.

Prevensi adalah pencegahan agar suatu peritiwa atau suatu perilaku tidak terjadi atau usaha-usaha antisipasi agara suatu peristiwa atau suatu perilaku tidak terjadi (Dalton dkk., 2007). Ini berarti prevensi psikologi sosial terjadap perilaku kekerasan seksual adalah usaha-usaha psikologi sosial (bidang psikologi yang menjelaskan perilaku individu dalam konteks sosial) yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan agar perilaku kekerasan seksual tidak terjadi dalam suatu komunitas.

Prevensi psikologi sosial terhadap perilaku kekerasan seksual di lingkungan komunitas dilakukan untuk mencapai tujuan komunitas yang sejahtera psikologis bagi para anggota suatu komunitas. Dalton dkk. (2007) mengemukakan bahwa komunitas adalah entitas jaringan saling-bantu dari suatu perhubungan tempat individu dapat bergantung. Dalton dkk. (2007)  mendeskripsikan bahwa komunitas dapat diidentifikasi dalam beberapa level yang berbeda, yaitu:

  1. Level sistem mikro (contoh: komunitas kelas).
  2. Level sistem organisasi (contoh: komunitas tempat kerja).
  3. Level lokal (contoh: komunitas rukun tetangga atau komunitas kota).
  4. Level sistem makro (contoh: komunitas bisnis internasional).

Dalam hal ini suatu komunitas memiliki tanggung jawab untuk membantu pemecahan masalah terkait dengan kekerasan seksual sebagai salah satu isu komunitas (Banyard dkk., 2007). Dalam hal ini, komunitas memiliki kewajiban untuk mengembangan strategi prevensi yang efektif untuk mencegah kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan seksual sehingga tujuan komunitas untuk membantu para anggota komunitas menjadi sejahtera secara fisik, psikologis, dan spiritual akan tercapai. Keterlibatan komunitas memiliki makna yang sangat penting bagi pengembangan kesesejahteraan individu maupun kohesi sosial dalam suatu komunitas (Dalton dkk. 2007).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap berdasar bahan-bahan kepustakaan yang relevan tentang metode-metode prevensi yang dapat dilakukan secara psikologi sosial untuk melakukan prevensi terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan seksual.

 

METODE

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan interpretif – kualitatif. Metode dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Sumber data dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kepustakaan psikologi sosial yang berhubungan dengan prevensi perilaku kekerasan seksual. Bahan-bahan kepustakaan yang digunakan dalam penelitian adalah buku-buku referensi dan jurnal-jurnal psikologi sosial dan psikologi komunitas yang relevan dengan fokus penelitian. Fokus dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan intervensi psikologi sosial terhadap perilaku kekerasan sesksual dalam komunitas.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Dalam teknik analisis tematik dilakukan proses identifikasi, analisis, dan menyimpulkan pola-pola tema yang ada dalam data (Braun & Clark, 2006; Esin, 2011). Validasi hasil dalam penelitian ini adalah melalui triangulasi dari berbagai sumber kepustakaan (Hanurawan, 2012).

 

 HASIL

 Perilaku Kekerasan Seksual

Berdasar perspektif psikologi sosial perilaku kekerasan seksual adalah perilaku agresi yang ditujukan kepada objek sasaran perilaku tersebut. Perilaku agresi adalah perilaku seseorang atau sekelompok orang yang diniatkan untuk menyakiti objek sasaran perilaku agresi (Colman, 2006; Hanurawan, 2010). Dalam konteks perilaku kekerasan seksual, perilaku agresi seksual adalah perilaku agresi yang ditujukan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan karakteristik seksual orang atau kelompok lain yang menjadi objek sasaran. Dalam budaya patriarki umumnya perilaku kekerasan seksual dilakukan oleh laki-laki dan korbannya adalah perempuan. Namun demikian, di masa kini, korban juga dapat terjadi pada laki-laki atau pada anak-anak.

Suatu perilaku dapat dikategorikan sebagai perilaku kekerasan seksual adalah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai perilaku agresi (Hanurawan, 2010). Syarat-syarat perilaku kekerasan seksual adalah sebagai berikut:

  1. Eksistensi niat yang terdapat dalam diri pelaku kekerasan seksual untuk melukai objek sasaran perilaku kekerasan seksual.
  2. Eksistensi harapan yang terdapat dalam diri pelaku kekerasan seksual untuk membuat objek sasaran perilaku mengalami penderitaan akibat perilaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku.
  3. Eksistensi keinginan objek perilaku kekerasan seksual untuk menghindari perlakuan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual.

 

Strategi Prevensi Individual

Strategi prevensi kepada individu-individu dilakukan kepada kelompok jenis kelamin laki-laki, kelompok jenis kelamin perempuan, dan kelompok gabungan laki-laki dan perempuan (Banyard, 2007; Krahe, 2004).

  1. Prevensi pada kelompok sasaran jenis kelamin laki-laki.

Program prevensi pada kelompok sasaran jenis kelamin laki-laki adalah mensasar predisposisi atau kecenderungan kognitif dan afektif laki-laki untuk melakukan kekerasan seksual. Program ini berdasar asumsi bahwa semakin baik pengetahuan laki-laki tentang akibat-akibat negatif (seperti sindrom trauma pasca serangan seksual) dari terjadinya kekerasan seksual pada diri korban perilaku kekerasan seksual maka itu dapat membuat mereka untuk memiliki kecenderungan untuk tidak berkomitmen melakukan perilaku kekerasan seksual kepada orang lain. Melalui program ini laki-laki belajar untuk mengembangkan sikap negatif terhadap perilaku kekerasan seksual yang dapat menjadi dasar bagi terjadinya perilaku yang menolak komitmen terhadap perilaku kekerasan seksual.

Dalam konteks psikologi sosial, sikap memiliki hubungan yang signifikan bagi terjadinya suatu perilaku, termasuk sikap positif terhadap terhadap perilaku kekerasan seksual berhubungan dengan kecenderungan tidak melakukan perilaku kekerasan seksual. Pengembangan pengetahuan terhadap keadaan psikologis korban membantu laki-laki untuk mengembangkan empati terhadap kondisi psikologis korban pasca terjadinya kekerasan seksual. Secara khusus, dalam konteks psikologi sosial, prevensi terhadap terjadinya perilaku kekerasan seksual dapat pula dengan memberikan pelatihan ketrampilan sosial kepada kelompok laki-laki (Hanurawan, 2010). Pelatihan ketrampilan sosial dalam bentuk pelatihan komunikasi interpersonal dan komunikasi sosial dapat didayagunakan untuk membantu laki-laki yang memiliki kemampuan interpersonal dan sosial yang rendah untuk mereduksi niat melakukan perilaku kekerasan seksual dalam hubungan lintas jender. Dalam hal ini pelatihan tersebut dapat membantu mereka untuk mengekspresikan keinginannya secara tepat kepada orang lain dan sensitif terhadap simbol-simbol penolakan yang ditunjukkan oleh orang lain.

 

  1. Prevensi pada kelompok sasaran jenis kelamin Perempuan

Program prevensi pada kelompok sasaran jenis kelamin perempuan dilaksanakan berdasar alasan bahwa sebagian besar korban kekerasan seksual sejauh ini adalah kelompok perempuan. Tujuan utama program prevensi pada kelompok sasaran jenis kelamin perempuan ini adalah untuk mereduksi resiko terjadinya kekerasan seksual pada korban perempuan melalui memberi pemahaman kepada perempuan tentang sinyal-sinyal dini kondisi yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual, perilaku yang mengarah pada kekerasan seksual, dan perilaku resistensi perempuan terhadap kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan seksual. Dalam hal ini meskipun tanggung jawab terhadap terjadinya perilaku kekerasan seksual sebagian besar dibebankan pada pelaku yang umumnya laki-laki, namun sebaiknya perempuan juga diberdayakan untuk lebih aktif melakukan peran perlindungan-mandiri (self-protective).

Program prevensi pada kelompok sasaran jenis kelamin perempuan memberikan kepada kelompok sasaran perempuan:

a. Informasi tentang faktor-faktor resiko terkait terjadinya kekerasan seksual.

Informasi tentang faktor-faktor resiko terkait terjadinya kekerasan seksual antara lain adalah: aktivitas seksual pada tingkat yang tinggi, konsumsi alkohol dalam interaksi interpersonal antar lawan jenis (Ottens & Black, 2000), dan komunikasi yang ambigu dalam hubungan interpersonal lawan jenis. Melalui pemberian informasi tersebut, perempuan disadarkan tentang kemungkinan serangan seksual pada kondisi-kondisi tersebut, sehingga apabila mereka dalam kondisi tersebut mereka harus melakukan tindakan seperlunya dan sesegera mungkin.

b. Saran dan pelatihan tentang metode untuk melawan kekerasan seksual. Saran dan pelatihan ini mencakup ketrampilan pertahanan diri apabila menghadapi situasi yang memiliki potensi bagi terjadinya kekerasan seksual, pelatihan perilaku asertif, dan pelatihan kepercayaan diri dalam menghadapi situasi yang memiliki potensi bagi terjadinya kekerasan seksual.

 

 3.Prevensi pada kelompok sasaran jenis kelamin gabungan laki-laki dan perempuan.

Prevensi ini lebih menekankan pada efek trauma pada kekerasan seksual dan mengubah sikap laki-laki ke arah lebih positif terhadap dukungan pada korban kekerasan seksual. Prevensi yang bersifat gabungan melalui metode Focus Group Discussion memungkinkan mereka bertukar pikiiran maupun perasaan terkait fenomena kekerasan seksual sehingga memungkinkan terciptanya empati dan sikap negatif terhadap perilaku kekerasan seksual.

 

Strategi Prevensi Komunitas

Selain strategi prevensi pada tingkat individual, strategi prevensi pada tingkat komunitas juga dapat dilakukan. Strategi prevensi pada tingkat komunitas mengarah pada dimensi-dimensi sosial budaya dan legal yang dapat membantu reduksi kemungkinan terjadinya kekerasan seksual dan memberi hukuman lebih setimpal terhadap pelaku kekerasan seksual. Strategi pada level komunitas ini antara lain adalah melalui:

  1. Pengubahan stereotip dominasi budaya patriarki terkait perilaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh kelompok jender laki-laki.

Stereotip jender terkait perilaku kekerasan seksual yang umumnya dilakukan oleh kelompok laki-laki merefleksikan ketidakseimbangan jender yang menunjukkan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Dominasi laki-laki tersebut perlu diubah menjadi lebih seimbang dalam hubungan sosial antar jender laki-laki dan perempuan dalam komunitas. Dalam hal ini peran yang seimbang dalam interaksi seksual laki-laki dan perempuan dalam suatu komunitas dapat dilakukan melalui resosialisasi peran jender (Hanurawan & Diponegoro, 2005) dan pemberian kesempatan lebih luas kepada perempuan untuk berperan aktif dalam berbagai aktivitas sosial dalam komunitas.

  1. Reduksi kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan seksual terhadap perempuan oleh laki-laki melalui pengembangan dan implementasi kebijakan komunitas yang meningkatkan keamanan perempuan.

Strategi kebijakan komunitas untuk peningkatan keamanan bagi kelompok yang rentan menjadi sasaran kekerasan seksual antara lain adalah melalui: penyediaan alat transportasi murah atau gratis bagi perempuan yang beraktivitas di malam hari, pemasangan kamera pengawas di berbagai ruang publik yang rentan bagi terjadinya peristiwa kekerasan seksual, dan larangan konsumsi alkohol pada acara-acara sosial yang melibatkan laki-laki dan perempuan (Krahe, 2014; Ottens & Black, 2000).

  1. Pengembangan kebijakan hukum yang memberi hukuman yang pantas bagi pelaku kekerasan seksual dan pengembangan kebijakan yang mampu meningkatkan perlakuan atau intervensi kepada korban paska terjadinya tindakan kekerasan seksual kepada mereka.

Strategi kebijakan hukum ini sesuai dengan prinsip penanggulangan perilaku agresi dalam psikologi sosial terkait dengan pemberian hukuman sebagai instrumen efektif untuk prevensi dan intervensi perilaku kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Hukuman yang setimpal bagi pelaku kekerasan seksual akan dapat mencegah prevalensi terjadinya perilaku kekerasa seksual (Hanurawan, 2010).

Selain itu, aparat-aparat hukum, seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara memiliki sikap dan perilaku positif terkait penindakan terhadap perilaku kekerasan seksual. Pengembangan norma sosial dalam suatu komunitas untuk mereduksi kemungkinan terjadinya kekerasan seksual dalam komunitas (Centers for Disease Control and Prevention National Center for Injury Prevention and Control, 2014).

 

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

            Berdasar hasil analisis terhadap fenomena prevensi psikologi sosial terhadap perilaku kekerasan seksual maka dapat dideskripsikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. Perilaku kekerasan seksual adalah perilaku agresi terhadap karakteristik seksual objek sasaran perilaku tersebut. Dalam budaya patriarki kekerasan seksual umumnya yang menjadi pelaku adalah laki-laki dan korbannya adalah perempuan.
  2. Strategi prevensi individual dapat dilakukan untuk prevensi terjadinya perilaku kekerasan seksual. Strategi prevensi kepada individu-individu dilakukan kepada kelompok jenis kelamin laki-laki, kelompok jenis kelamin perempuan, dan kelompok gabungan laki-laki dan perempuan.
  3. Selain strategi prevensi pada tingkat individual, strategi prevensi pada tingkat komunitas juga dapat dilakukan. Strategi prevensi komunitas mengarah pada dimensi-dimensi sosial budaya dan legal yang dapat membantu reduksi kemungkinan terjadinya kekerasan seksual dan memberi hukuman lebih setimpal terhadap pelaku kekerasan seksual.

Saran

            Berdasar pada hasil penelitian ini maka beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

  1. Saran kepada kelompok jender laki-laki untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang lebih positif terhadap eksistensi perempuan, termasuk terhadap perilaku anti kekerasan seksual.
  2. Saran kepada kelompok jender perempuan untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang terkait dengan mekanisme pertahanan diri terhadap kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan seksual.
  3. Saran kepada komunitas untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program prevensi kekerasan seksual dalam komunitas mereka dan program kebijakan hukum yang anti kekerasan seksual.

 

 

DAFTAR RUJUKAN

Banyard, V.L. Moynihan, M. M. & Plante, E.G. 2007. Sexual Violence Prevention Through Bystander Education: An Experimental Evaluation. Journal Of Community Psychology, 35 (4): 463–481.

 

Braun, V. & Clarke, V. 2006. Using Thematic Analysis in Psychology. Qualitative Research in Psychology, 3 (2): 77-101.

 

Campbell, R. &. Wasco, S.M. 2005. Understanding Rape and Sexual Assault. 20 Years of Progress and Future Directions. Journal of Interpersonal Violence, 20 (1): 127-131.

Centers for Disease Control and Prevention National Center for Injury Prevention and Control (NCIPC). 2014. Sexual Violence: Prevention Strategies. NCIPC: Atlanta, GA.

Colman, A.M. 2006. A Dictionary of Psychology. New York: Oxford University Press.

Dalton, J.H., Elias, M.J., Wandersman, A. 2007. Community Psychology: Linking Individuals and Communitities. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.

Esin, C. 2011. Narrative Analysis Approaches. N. Frost (Ed.) Qualitative Research methods in Psychology. Combining Core Approaches (pp. 16-43). Maidenhead, Bershire: Open University Press, McGraw-Hill Education.

Krahe, B. 2004. Rape Preventian. C. Speilberger (Ed.). Encyclopedia of Applied Psychology (pp. 217-222 ). New York: Elsevier Academic Press.

Hanurawan, F. & Diponegoro, A.M. 2005. Psikologi Sosial Terapan dan Masalah-Masalah Sosial. Yogyakarta: UAD Press.

Hanurawan, F.. 2010. Psikologi Sosial. Suatu Pengantar. Bandung: Universitas Negeri Malang & PT Remaja Rosdakarya.

Hanurawan, F. 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam Ilmu Psikologi. Surabaya: Komisi Peningkatan Kinerja Masyarakat Universitas Airlangga.

Ottens, A.J. & Black, L.L. 2000. Crisis Intervention at College Counseling Centers. A.R. Roberts (Ed.) Crisis Intervention Handbook. Assesment. Treatment, and Research (pp. 152- 173). Oxford: Oxford University Press.